Sudah Saatnya tak Mengandalkan Kepatuhan Belaka
Pemerintah Jepang memandang perlu untuk membuat Undang-undang yang mengatur tindakan pencegahan terhadap Covid-19 yang hingga kini belum ada.
Sejumlah pachinko di Yokohama nekat buka di tengah keadaan darurat.
Saat infeksi baru Covid-19 di Jepang memasuki gelombang ketiga ditambah strain virus baru yang lebih membahayakan, Jepang memandang perlu untuk membuat undang-undang yang mengatur tindakan melawan Covid-19.
Selama ini, tindakan pencegahan virus berasal dari tiga undang-undang yaitu Undang-undang penyakit menular, Undang-undang Karantina, dan Undang-undang tindakan khusus influenza baru.
Nomura Shuya, professor dari Chuo University Graduate School of Law mengatakan Covid-19 tidak bisa disamakan dengan penyakit menular lainnya karena sering kali penderita tidak mengalami gejala atau orang tanpa gejala (OTG). “Virus Covid-19 jauh berbeda dari penyakit menular yang menjadi dasar hukum virus negara saat ini,” kata Nomura.
Meskipun setiap undang-undang terpisah dan berbeda, memungkinkan pemerintah untuk memberlakukan secara bersamaan, antara lain, persyaratan penerimaan rumah sakit yang lebih ketat bagi mereka yang dites positif, langkah-langkah pengendalian perbatasan dan realokasi dana untuk meningkatkan kapasitas pengujian, mendukung fasilitas perawatan kesehatan dan staf medis.
Sayangnya, berdasarkan undang-undang ini, baik pemerintah pusat maupun daerah tidak dapat mengenakan denda finansial, tuntutan pidana, atau tindakan hukuman apa pun kepada mereka yang melanggar. Akibatnya, Jepang hampir sepenuhnya mengandalkan kepatuhan rakyatnya melalui pembatasan aktivitas masyarakat, termasuk pengumuman keadaan darurat.
Mengandalkan azaz kepatuhan tak selamanya berjalan mulus. Saat Perdana Menteri Abe Shinzo mengumumkan negara dalam keadaan darurat dari 7 Apr. hingga 6 Mei (yang kemudian diperpanjang sampai 25 Mei), sejumlah tempat hiburan masih bandel membuka usahanya.
Di Yokohama, pada 28 Apr. pemerintah prefektur mengumumkan enam pachinko yang masih membuka usahanya di tengah keadaan darurat. Pengumuman nama perusahaan ke publik adalah tindakan paling tegas dari undang-undang yang menjadi dasar pencegahan terhadap Covid-19. Tujuannya, agar perusahaan malu karena dianggap tidak memiliki sense of crisis. Setelah diumumkan, sehari kemudian tinggal satu pachinko yang masih membandel.
Bukan hanya pelaku bisnis yang tak bisa dijerat dengan sanksi pidana terhadap pelanggaran terkait penanganan Covid-19, tetapi juga masyarakat biasa. Seorang penumpang pesawat yang menolak memakai masker, hanya diturunkan di bandara terdekat tanpa diproses hukum. Akibatnya, ia kembali berulah ketika menginap di sebuah hotel. Tak mau memakai masker saat antre makan di restoran sehingga menimbulkan keributan. Polisi yang datang hanya melerai, kemudian mendamaikan dan mencari jalan tengah tanpa proses hukum karena tak ada landasan konstitusionalnya.
Masalah lain yang ditimbulkan terkait Covid-19 adalah soal ganti rugi yang harus diberikan oleh pemerintah kepada pelaku bisnis yang diminta menutup usahanya. Walikota, bupati dan gubernur mengatakan pemerintah pusat harus menanggung ganti rugi itu karena mereka bertindak berdasarkan Undang-undang yang berlaku secara nasional.
Perdana Menteri Suga Yoshihide menggelar rapat dengan Gubernur Hokkaido Suzuki Naomichi membahas penanganan Covid-19.
Bagi daerah kaya, seperti Tokyo, mereka berani memberikan tambahan ganti rugi kepada para pebisnis. Bagaimana dengan daerah miskin yang tak mampu memberikan subsidi tambahan untuk pengusaha lokal?
Walau tak ada sanksi pidana, harus diakui, sampai Juni lalu, Jepang berhasil mengendalikan infeksi Covid-19 dibanding negara maju lainnya seperti Amerika Serikat, Jerman, Italia, Inggris maupun Spanyol.
Menurut Wakil Perdana Menteri saat itu Aso Taro, keberhasilan tersebut disebabkan pada "kualitas unggul" orang Jepang. "Saya memberi tahu orang-orang ini: 'Antara negara Anda dan negara kami, mindo (tingkat orang) berbeda.' Dan itu membuat mereka terdiam," jelas Aso. Diterjemahkan secara literal, mindo berarti "tingkat kualitas manusia", meskipun beberapa telah menerjemahkannya sebagai makna "tingkat budaya".
Ini adalah konsep yang berasal dari era kekaisaran Jepang dan menunjukkan rasa superioritas rasial dan chauvinisme budaya. Aso dikecam karena menggunakan istilah itu.
Kini, ketika virus strain baru ditemukan di Inggris dan Afrika Selatan yang diyakini bisa menyebar lebih cepat dibandingkan novel coronavirus sebelumnya, pemerintah Jepang mulai berpikir untuk membuat undang-undang khusus dalam menghadapi wabah Covid-19. Tak bisa mengandalkan aturan sebelumnya.
Perdana Menteri Jepang Suga Yoshihide akan mengajukan rancangan undang-undang (UU) sebagai landasan hukum bagi pemerintah untuk mengambil tindakan dalam melawan Covid-19. UU ini akan mengikat secara hukum untuk bisnis, menghukum pelanggar dan termasuk memberikan kompensasi ekonomi.
Suga mengatakan para ahli sedang membahas undang-undang agar tindakan pemerintah lebih efektif. Ia berharap dapat mengajukan RUU untuk memperoleh persetujuan parlemen secepat mungkin pada awal 2021.
“Merevisi undang-undang semacam itu adalah masalah kebebasan pribadi dan hak individu,” kata Kasanuki Hiroshi, seorang ahli hukum medis serta profesor dan penasihat di Institute for Medical Regulatory Science, Waseda University.
Setiap upaya untuk merevisi undang-undang atau membuat UU baru, tampaknya, akan mendapat tentangan keras, terutama dari partai oposisi. "Terlepas dari afiliasi politik, anggota parlemen harus bisa berdiskusi dengan kepala dingin tentang rencana yang bisa menyelamatkan nyawa," kata Shiozaki Akihisa, seorang pengacara.
Bagimana pun, dalam situasi darurat kesehatan seperti ini, diperlukan langkah tegas berlandaskan aturan hukum yang jelas. Mengandalkan kepatuhan semata dalam situasi anomali seperti ini bukanlah pilihan yang tepat. ***