Subsidi untuk Menggerakkan Perekonomian, Bukan Dikorupsi
Subsidi dari pemerintah dimaksudkan untuk menggerakkan roda ekonomi yang terdampak pandemi Covid-19, bukan malah dikorupsi.
Pandemi Covid-19 memporak-porandakan ekonomi global. Kontraksi ekonomi terjadi di hampir semua negara, tak terkecuali Jepang, kekuatan ekonomi terbesar ketiga di dunia. Untuk menggerakkan roda ekonomi yang nyaris terhenti, pemerintah memberikan subsidi berbagai rupa.
Ketika kasus Covid-19 melonjak tinggi pada Maret tahun lalu, Perdana Menteri saat itu Abe Shinzo mengumumkan negara dalam keadaan darurat mulai 7 Apr. hingga sebulan, tetapi kemudian diperpanjang hingga 31 Mei.
Saat keadaan darurat diberlakukan, Kementerian Kesehatan, Perburuhan dan Kesejahteraan memberikan subsidi gaji, setidaknya sebagian, agar daya beli masyarakat tetap terjaga, di samping mencegah terjadinya lonjakan pengangguran.
Pekerja yang di-PHK oleh perusahaan yang telah menghentikan operasinya berhak atas setidaknya 60% dari gaji reguler mereka. Pemerintah menanggung hingga 90% dari ini agar mereka tidak langsung diberhentikan, dengan perusahaan menyumbang 10% lainnya.
Sementara itu perusahaan kecil, yang bergerak di sektor jasa dengan maksimal lima pekerja dan pabrik dengan maksimal 20 pekerja, yang diminta oleh pemerintah pusat atau daerah untuk sementara menutup operasi, pemerintah akan membayar 100% gajinya. Untuk mengajukan subsidi ini, kabarnya, prosedur yang dilewati cukup ketat.
Setelah keadaan darurat dicabut, pemerintah Jepang mencoba menggerakkan ekonomi dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Untuk itu, pemerintah meluncurkan program Go To Travel, subsidi bagi masyarakat Jepang yang ingin melancong, mulai 22 Jul.
Hanya masyarakat lokal yang disubsidi karena pemerintah masih melarang pelancong luar negeri masuk ke Negeri Sakura untuk menghindari penularan virus. Masyarakat didorong untuk berwisata ke daerah yang kasus infeksinya rendah.
Subsidi ini dimaksudkan untuk mendongkrak bisnis pariwisata dan perhotelan yang “mangkrak” akibat tak ada orang bepergian dan tamu menginap. Bentuk bantuan berupa 35% penggantian dari biaya tiket dan akomodasi, berlaku sejak 22 Jul. Mulai 1 Okt. ditambah 15% voucher yang bisa dipakai untuk berbelanja di tempat tujuan wisata.
Program bantuan lainnya adalah Go To Eat yang dimulai 1 Okt. 2020. Inti dari program ini adalah memberikan diskon saat makan di restoran. Ada dua cara untuk mendapatkan diskon hingga 25% yaitu dengan membeli voucher atau memesan restoran secara daring.
Untuk mendongkrak bisnis pertunjukan dan olahraga, pemerintah Jepang meluncurkan program Go To Event yakni pemberian diskon untuk pembelian tiket pementasan seni, budaya dan acara olahraga. Program tersebut dimulai pada 30 Okt.
Program berbau “Go To” dihentikan sementara pada 28 Des hingga 11 Jan. karena kasus infeksi Covid-19 sedang melambung. Padahal, masih ada satu program Go To yang sedianya akan diluncurkan yaitu Go To Shopping Street.
Semua kampanye Go To dari pemerintah tidak memberikan uang secara langsung kepada masyarakat tetapi memberikan diskon untuk pengeluaran mereka. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong masyarakat membelanjakan uang mereka sehingga roda perekonomian kembali berputar.
Daging sapi wagyu dijadikan menu makan siang di sekolah Jepang selama pandemi Covid-19 untuk membantu peternak sapi.
Contoh nyata bantuan yang menggerakkan ekonomi adalah subsidi yang diberikan kepada sekolah untuk makan siang siswa. Saat pandemi berlangsung, stok daging wagyu di Jepang melimpah karena minimnya permintaan dari restoran papan atas. Untuk mengatasi ini, daging wagyu dijadikan menu makan siang siswa. Tidak tiap hari, hanya sekali dalam sepekan.
Menurut kementerian pertanian, kelebihan stok daging wagyu sudah dibagikan kepada 35.000 sekolah (SD dan SMP) di 47 prefektur. Sekolah harus membeli daging ke perusahaan lokal. Misalnya, sekolah di Prefektur Hyogo membeli daging merek Kobe, brand lokal yang sudah mendunia. Aturan ini membuat ekonomi daerah berputar. Tak ada sentralisasi pembelian produk daging.
Terkait dengan bantuan pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19, Indonesia juga menyalurkan sembilan jenis bantuan dan subsidi. Yaitu bantuan sembako, bantuan langsung tunai (BLT), BLT dana desa, insentif tarif listrik, kartu prakerja, subsidi gaji karyawan, BLT usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), bantuan pulsa ASN, serta kuota gratis untuk belajar.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, seperti dikutip Kompas menyebutkan, beragam bantuan dan subsidi yang dikucurkan pemerintah menjadi tak efektif untuk mendongkrak perekonomian. Hal ini disebabkan oleh tiga hal yaitu terus bertambahnya masyarakat berpenghasilan rendah selama pandemi, daya beli masyarakat yang turun drastis, serta pola penyaluran bantuan yang cenderung tak kontinyu.
Apalagi, jenis bantuan sembako yang dikucurkan pemerintah terbukti dikorupsi. Pejabat mengutip “komisi” untuk setiap paket yang akan diberkan kepada masyarakat miskin. Akibat kasus itu, kini kementerian sosial mengubah metode pemberian bantuan. Tak lagi berwujud sembako tetapi uang tunai yang langsung ditransfer ke rekening penerima.
Yang penting diperhatikan, apapun bentuk bantuannya, semestinya ditujukan untuk menggerakan roda perekonomian. Pekerja yang terkena PHK membutuhkan pekerjaan baru atau modal kerja ketimbang pelatihan daring. Menciptakan proyek padat karya lebih penting ketimbang pelatihan semacam itu.
Bantuan dan subsidi yang diberikan pemerintah Jepang mirip memberikan kail dan jala kepada masyarakat. Modal kerja untuk berusaha. Bukan sekedar memberikan ikan yang sekali santap selesai. Lalu minta lagi. Atau jangan-jangan memang diciptakan iklim seperti itu untuk memberi ruang kepada para tikus untuk bergerilya. Entahlah! ***