Saat Sopan Santun Mulai Luntur
Tidak perlu kaget ketika Microsoft merilis hasil survei mengenai sopan santun pengguna internet di Indonesia di mana kita menempati posisi paling rendah di Asia Tenggara. Terpaut jauh dengan Malaysia.
Baru-baru ini Microsoft merilis laporan soal Digital Civility Index (DCI) yang mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya. Dalam riset ini, warganet Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara, alias paling tidak sopan.
Tingkat kesopanan warganet Indonesia memburuk delapan poin ke angka 76, di mana semakin tinggi angkanya tingkat kesopanan semakin buruk. Netizen paling santun ditempati warga Singapura yang juga menempati peringkat keempat secara global, dengan total 59 poin.
Malaysia berada di urutan kedua dengan 63 poin, diikuti oleh Filipina 66 poin. Thailand menduduki posisi keempat dengan 69 poin, disusul Vietnam di urutan kelima dengan 72 poin, tepat berada di atas Indonesia. Microsoft tidak memaparkan laporan DCI untuk negara Asia Tenggara lainnya.
Laporan itu membeberkan, kemunduran tingkat kesopanan paling banyak didorong pengguna usia dewasa dengan persentase 68%. Sementara usia remaja disebut tidak berkontribusi dalam mundurnya tingkat kesopanan digital di Indonesia pada 2020.
Ada tiga faktor yang yang memengaruhi risiko kesopanan di Indonesia. Paling tinggi adalah hoaks dan penipuan yang naik 13 poin ke angka 47%. Disusul ujaran kebencian yang naik 5 poin, menjadi 27%. Dan ketiga adalah diskriminasi sebesar 13%, yang turun sebanyak 2 poin dibanding tahun lalu.
Sementara itu, selama pandemi, empat dari 10 responden mengaku tingkat kesopanan digital di Indonesia membaik. Hal itu didorong oleh rasa kebersamaan yang lebih besar di saat pandemi dan melihat warganet saling tolong-menolong secara online.
Namun, lima dari 10 responden juga mengaku pernah terlibat perundungan, di mana 19% responden mengaku sebagai target perundungan. Sebesar 54% milenial mengaku terpukul akibat perundungan tersebut.
Sebenarnya, kekhawatiran melunturnya sopan santun di dunia maya sudah diungkapkan oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo, lima tahun silam, saat menghadiri peringatan 90 tahun Pondok Gontor. Presiden mengeluhkan mulai hilangnya identitas, karakter, identitas dan nilai ke-Indonesian, seperti sopan santun, optimisme, kerja keras, saling menghormati serta nilai-nilai Islami.
"Kalau kita lihat di media sosial, Twitter, Instagram, komentar-komentar di media online, saling menghujat, merendahkan orang lain, saling mengolok. Apakah itu nilai Islami Indonesia?," kata Jokowi saat itu.
Presiden meminta nilai-nilai itulah yang harus menjadi perhatian. Jokowi mengungkapkan sikap saling menjelekkan, mencela, meredahkan, menghina, mengolok tidak terlihat pada 40-50 tahun lalu.
Sejatinya, saling ejek, menghina, dan merundung ada sejak zaman dulu. Hanya, frekuensinya tak segencar sekarang, di era digital.
Lahirnya media sosial memicu tindakan “seenaknya sendiri” dalam berkomentar. Yang pasti, ada kesenjangan antara perilaku di media sosial dengan perilaku di dunia nyata.
Kesenjangan kepribadian antara di dunia nyata dan online, oleh pakar sikologi John Suler disebut “online disinhibition effect.” John mengenalkan istilah tersebut sejak 2004 dalam bukunya Cyber Psychology & Behavior. Jadi, jangan heran kalau teman sebelah Anda, yang pendiam, bisa garang dan ketus di media sosial.
Disinhibisi online adalah kurangnya pengendalian yang dirasakan seseorang ketika berkomunikasi secara daring (online) dibandingkan dengan berkomunikasi secara langsung. Orang merasa lebih aman mengatakan sesuatu secara online yang tidak akan mereka katakan dalam kehidupan nyata karena mereka memiliki kemampuan untuk tetap anonim dan tidak terlihat di balik layar komputer.
Penyebab lainnya adalah adanya ketidaksinkronan alias respon dari lawan bicara tidak saat itu juga. Bisa berapa menit kemudian, berjam-jam atau bahkan berhari-hari. Lambatnya respon ini membuat orang merasa gampang komentar seenaknya dan tak perlu memikirkan apa yang akan terjadi setelah itu.
Faktor lain yang mempengaruhi disinhibisi daring adalah solipsistic introjection, yaitu ketidaksesuain interprestasi dari lawan bicara. Apa yang ditulis seseorang bisa ditafsirkan berbeda oleh si penerima. Apalagi, kalau yang dikirim sebatas emoji. Wong, penafsiran emoji untuk tiap orang saja bisa berbeda kok.
Pakar psikologi percaya disinhibasi online berperan besar dengan maraknya perundungan siber, yaitu tindakan mencoba membuat orang lain merasa malu, terintimidasi, atau buruk tentang diri mereka sendiri melalui internet, termasuk media sosial.
Anggapan yang mengatakan komentar melalui media sosial, meski Anda memakai akun palsu, bersifat anomim tak selalu benar. Dengan kemajuan teknologi, lokasi Anda bisa dilacak.
Akibatnya, bisa dicokok polisi jika komentar Anda dianggap melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau Undang-undang nomor 11 tahun 2008.
Sejumlah pasal dalam UU ini dianggap pasal karet yang bisa ditafsirkan bermacam-macam. Alangkah baiknya, sebelum berkomentar di media sosial, pikirkan akibat yang akan ditimbulkan.
Jika orang lain menganggap komentar Anda kelewatan dan melaporkan ke polisi, urusan bisa panjang. Lebih baik bijak dalam memakai media sosial daripada harus berurusan dengan pihak berwajib.
Dan yang perlu diingat, survei Microsoft soal kesopanan tadi, hanya di media sosial. Di dunia nyata, masyarakat Indonesia masih ramah dan sopan, khususnya yang tinggal di daerah. ***