Sepeda Buatan Temanggung Mampu Menembus Tokyo
Sepeda bambu karya Singgih Susilo Kartono mampu menembus Jepang. Apa rahasianya? Simak di sini!
Singgih Kartono saat berada di Tokyo. (Masuda Fumi)
Sukses membuat radio berbahan kayu merek Magno, kreativitas Singgih Susilo Kartono terus bergulir. Pada 2013, ia membuat sepeda dari bambu yang diberi nama Spedagi. Sepeda dari Temanggung, Jawa Tengah ini bukan hanya diekspor ke sejumlah negara, tetapi juga dijadikan contoh di Jepang. Kini, Spedagi memiliki kantor dan studio di Ato, Prefektur Yamaguchi serta di Tokyo.
Spedagi adalah gabungan dua kata dari sepeda dan pagi. Spedagi masuk ke Jepang pada 2015. Tahun ini pula berdiri studio di Ato dengan memanfaatkan Haiko, sekolah yang ditinggalkan karena tak ada muridnya. Tak lama kemudian, berdirilah Spedagi Tokyo yang berkantor di Tokyo Zokei University.
Di Temanggung, Spedagi dibuat menggunakan bambu petung. “Bambu ini kuat, dindingnya tebal dan banyak tumbuh di sekitar kita,” kata lulusan Jurusan Desain dan Produk Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung itu.
Sementara itu Spedagi Tokyo membuat sepeda dengan take, jenis bambu yang ada di Tokyo. Selama ini, bambu itu tidak dimanfaatkan dan dianggap mengganggu lingkungan karena memakan lahan dan bersaing dengan tumbuhan lain. Pengetahuan yang dimiliki warga pun berangsur hilang setelah generasi tua meninggal.
“Take lebih lentur dibanding petung,” ujar peraih sejumlah penghargaan internasional di bidang desain tersebut. Untuk itu, desain Spedagi di Tokyo tak sama persis dengan desain yang ada di Temanggung. [Foto: Singgih Kartono saat berada di Tokyo. (Masuda Fumi)]
Pria kelahiran 1 April 1968 ini memilih bambu sebagai bahan dasar sepeda karena bambu merupakan material terbarukan yang cepat tumbuh. Umur 3,5 tahun sudah bisa digunakan, dan tidak perlu didatangkan dari tempat yang jauh.
Menurut Singgih, bangsa Jepang memiliki kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan yang cukup tinggi. Gerakan revitalisasi desa di Jepang belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan, karena terbatasnya anak muda yang ada di pedesaan.
Sementara ini kegiatan Spedagi Tokyo fokus pada pengenalan bambu, alam dan desa ke anak-anak. Anak-anak penting bagi masa depan. Mereka harus mempunyai pemahaman yang benar untuk menghargai alam.
Untuk mengenalkan bambu kepada mahasiswa, Singgih selalu menyempatkan diri untuk memberikan kuliah jika sedang berada di Tokyo. “Saya hampir selalu menyempatkan diri memberikan kuliah tamu di sana tentang Spedagi Movement,” lanjut singgih.
Sejumlah mahasiswa Tokyo Zokei University (TZU) pernah melakukan kunjungan ke Temanggung. Sedangkan beberapa pengajar di TZU juga pendiri Spedagi Tokyo.
Kecintaan masyarakat Jepang terhadap sepeda bambu akan diwujudkan dengan tur ke Temanggung pada 17-22 September. Sayang, acara yang akan digelar bersama Kaze Tour itu gagal karena terjadinya pandemi Covid-19.
Setelah sepeda bambu menginspirasi masyarakat Jepang, ide Singgih yang menarik bagi orang Jepang adalah Pasar Papringan. Sebuah pasar dadakan yang diselenggarakan di kebun bambu (papringan). Dagangan yang dijual adalah kuliner dan kerajinan masyarakat setempat.
Menurut Singgih, Pasar Papringan belum diadaptasi di Jepang. “Kalau akan dibuat di Jepang, mungkin perlu menebang bambu, karena jenis bambunya tumbuh satu-satu. Di Indonesia tidak perlu menebang bambu, karena bambu tumbuh berumpun sehingga selalu ada ruang kosong antarbambu,” jelasnya.
Radio Magno, Spedagi dan Pasar Papringan adalah bagian dari Spedagi Movement yang memiliki tiga nilai dasar, yakni, mandiri, lestari, dan kreatif. Nilai mandiri antara lain tercermin dalam bentuk desa yang mengoptimalkan sumber daya lokal. Lestari karena keberlanjutan kehidupan tergantung cara manusia memperlakukan alam. Nilai kreatif muncul sebagai respon kemajuan teknologi informasi yang memungkinkan manusia berkomunikasi, berkarya, dan bekerja sama dalam ruang tanpa batas. ***