Revolusi Energi, Mungkinkah di Tangan Dwi Soetjipto?
Ditunjuknya Dwi Sutjipto menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membangkitkan asa bahwa ia dapat membawa perubahan besar.
Keberhasilan Dwi Sutjipto mentransformasi Semen Gresik, Semen Padang dan Semen Tonasa menjadi PT Semen Indonesia (penggabungan yang kemudian menjadikan PT Semen Indonesia perusahaan kelas dunia) boleh jadi menjadi titik lambung yang membawanya ke berbagai posisi prestisius sesudahhya.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo rupanya jeli melihat kemampuan menejerial yang tinggi serta terobosan-terobosan besar yang sudah dilakukan mantan atlit pencak silat nasional ini. Tercatat, Dwi Soetjipto telah mendapat kepercayaan untuk memimpin perusahaan energi milik negara Pertamina, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan terakhir’dipromosikan’ menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dalam Kabinet Indonesia Maju Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Sekarang kualitasnya sebagai Chief Executive Officer kelas dunia serta kemampuanya membaca kebutuhan masa depan benar-benar diuji oleh tantangan-tantangan yang nyata di sektor energi.
Secara nasional tingginya laju pertumbuhan konsumsi energi nasional setiap tahunnya berada di kisaran 7% ditengah ketergantungan yang tinggi terhadap energi fosil walaupun cadangannya sangat terbatas.
Sudah sejak lama para pengamat dan pakar energi mengingatkan bahwa jika tidak ditemukan cadangan minyak dalam waktu dekat maka dengan cadangan hanya 3.37 milyar barrels pada saat ini, minyak akan habis dalam waktu 11 tahun (asumsi produksi minyak saat ini adalah adalah 300 juta barel /tahun).
Data lain menunjukkan cadangan gas alam terbukti saat ini adalah 98.15 TCF, sehingga diperkirakan akan habis dalam waktu 34 tahun (asumsi produksi gas alam rata-rata sebesar 2.9 TCF/tahun.)
Di sisi lain, pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan masih sangat kecil (6.9%) dibarengi implementasi konservasi energi yang kurang optimal. Isu perubahan iklim dan komitmen nasional untuk pengurangan emisi sebesar 26% menambah pelik permasalahan.
Semua ini hanya akan berarti bahwa cara kerja business as usual dengan tetap meletakan harapan pada minyak dan gas bumi sebagai tulang punggung energi masa depan adalah impian yang keliru.
Dr. Subroto, mantan Sekjen OPEC, yang menjabat sebagai menteri pertambangan dan energi periode 1978-1988, menjelaskan pada revolusi energi 1.0, minyak dan gas bumi masih menjadi penghasil devisa terbesar bagi perekonomian Indonesia, terutama pada masa Orde Baru. Indonesia juga tumbuh 7 persen selama lebih dari 10 tahun lamanya.
Namun setelah itu, harga minyak dan gas bumi yang sempat anjlok hingga US$ 24 per barel dan sektor ini tidak lagi menjadi andalan dan memberi pendapatan terbesar untuk negara. Saat ini, Indonesia berada dalam revolusi energi 2.0 dengan energi fosil berasal dari batubara, sedangkan minyak dan gas bumi tidak lagi menjadi primadona.
Lambat laun, menurut Subroto, Indonesia harus beralih pada energi baru terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan memiliki emisi nol. Ini bagian dari komitmen Indonesia untuk menghindari pemanasan global dan kenaikan suhu bumi sampai 2 derajat celsius.
“Penerapan emisi nol atau zero emission menjadi inti dari Revolusi Energi 3.0 dengan tujuan akhir mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Tantangan dari putra-putri di ESDM adalah bagaimana mengembangkan elektrifikasi, energi baru terbarukan dan konservasi energi,” katanya.
Dalam keprihatinan yang sama Greenpeace mengatakan Energy Revolution merupakan satu-satunya skenario energi yang memperlihatkan bagaimana dunia bisa mengurangi emisi, menghemat uang dan menjaga pembangunan ekonomi global, tanpa menyebabkan bencana besar akibat dari perubahan iklim. Semua yang kita butuhkan untuk memulai rencana ini adalah kebijakan energi yang berani dari para pemimpin dunia.
Para pakar mengatakan tantangan riil yang ada didepan mata untuk Indonesia adalah keberanian pemimpin untuk mengembangkan industri Mobil Nasional berbahan bakar gas dan listrik secara masif dan industri ini dilindungi negara dengan target utama menjadi kendaraan dinas pemerintah dan BUMN serta swasta.
Di samping itu secara bertahap premium dan solar hanya diperuntukkan untuk kendaraan umum yang menyentuh masyarakat bawah. Untuk manajemen di sisi hilir, perlu dibentuk sebuah Otoritas Transportasi Nasional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan sistim transportasi publik secara nasional untuk mencegah pemborosan energi yang tidak perlu.
Dalam semangat business unusual ini pemerintah juga harus membuat terobosan berupa kebijakan nasional terhadap PLN agar mengkonversi semua pembangkit berbahan bakar bersubsidi dan mengganti dengan energi alternatif lainnya, seperti geothermal, micro hydro, energi matahari, bio-energi, energi angin serta energi laut.
Tentunya siapapun maklum bahwa masalahnya tidak akan semudah membalikan telapak tangan. Tetapi justru karena itu, kiranya, presiden telah menunjuk Dwi Soetjipto yang telah berhasil melakukan transformasi korporasi secara fenomenal menjadi orang nomor satu untuk didengar dalam urusan energi nasional, tepatnya urusan revolusi energi nasional.***