PLTN: Mimpi Yang Tak Kunjung Tiba
Wacana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia terus digulirkan selama beberapa dekade silam, tetapi belum satupun terwujud hingga saat ini.
Tujuh kali sudah Indonesia berganti presiden, dua di antaranya mencatat rekor terlama (Sukarno 22 tahun: 1945-1967 dan Soeharto 33 tahun: 1967-1998). Tetapi belum ada satupun yang berhasil membangun satu saja pembangkit listrik yang berbasis tenaga nuklir untuk menyediakan listrik murah bagi rakyat.
Laporan resmi menunjukan bahwa wacana membangun pembangkit listrik dengan tenaga nuklir sudah ada sejak 1960-an. Dalam rentang waktu yang panjang itu semua gagasan dan rencana serta kajian hanya berakhir di tumpukan dokumen ilmiah.
Wacana ini terus menjadi wacana dan akhirnya senyap ketika di tahun 70-an terjadi oil boom dan Indonesia menikmarti windfall profit yang luar biasa. Semua kegiatan pembangunan ditopang minyak, tanpa menyadari bahwa bahan bakar fosil ini akan habis pada suatu saat karena tidak dapat diperbarui).
Dan yang terjadi sesudahnya adalah penyesuaian tarif listrik yang terjadi hampir secara rutin setiap tahun disertai padam bergilir yang datang silih berganti.
Sementara itu, India,meski pernah mengalami krisis listrik pada 2012, justru telah berhasil menikmati “buah manis” dari kehadiran pembangkit nuklir yang menghadirkan listrik murah untuk rakyat. Sekarang negara dengan jumlah penduduk “jumbo” ini menjadi salah satu kiblat pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan.
Ketakutan-ketakutan akan bahaya radiasi nuklir dan trauma jarak jauh akibat meledaknya reaktor nuklir di Chernobyl (Rusia) pada 1980 dan Fukushima (Jepang) pada 2011 sering dijadikan alasan tidak kunjung dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di negeri berpenduduk 260 juta ini. Padahal Jepang sendiri sudah lama move on.
Pada 2018 Jepang telah menetapkan komposisi energinya di mana nuklir akan menyumbang antara 20% hinggga 22% dari permintaan listrik Jepang pada 2030. Rencana ini dimaksudkan untuk menjadikan tenaga nuklir sebagai sumber utama energi disamping energi baru dan terbarukan lain.
Alasan lain bahwa Indonesia yang rawan gempa tidak memungkinkan untuk membangun PLTN pun terlihat dangkal karena kemajuan teknologi dapat menjadi jawaban, sebagaimana disampaikan Menteri Riset dan Teknologi/ Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro dalam sebuah webinar di Jakarta baru-baru ini.
Semua yang sudah dikatakan nampaknya hanya menjelaskan bahwa persoalan utamanya adalah political will dari pemerintah karena Kepala Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Anhar Riza Antariksawan, mengatakan, Indonesia sendiri memiliki banyak sarjana teknik lulusan Indonesia yang memiliki kemampuan dalam teknologi nuklir, listrik, dan bidang keilmuan lainnya.
Lepas dari persoalan political will pemerintah Indonesia, kecenderungan global menunjukkan kehadiran tenaga nuklir adalah keniscayaan. Perhatian dunia yang semakin tinggi terhadap pemanasan global yang diakibatkan penggunaan bahan bakar fosil dan komitmen Indonesia untuk secara bertanggungjawab ikut menjaga emisi karbonnya menjelaskan mengapa opsi PLTN harus diambil.
Di samping itu Indonesia sendiri, lepas dari komitmennya untuk ikut mengurangi emisi karbon, terus bergantung pada batubara.
Hingga Mei 2020, batubara masih mendominasi bauran energi nasional. Batubara menguasai 63% dari pemakaian energi primer untuk tenaga listrik.
Sesungguhnya pemerintah Indonesia telah menetapkan bahwa energi bersih harus menyumbang 23% dari bauran energi nasional pada 2025 dan 31% pada 2050.
Jauh panggang dari api, data menunjukkan bahwa target itu baru tercapai sekitar 9 % pada 2019.
Bambang, berdasarkan data yang ada, berpendapat hanya dengan kehadiran PLTN target nasional itu dapat dicapai. Ia menyebut untuk mencapai bauran energi 31% dibutuhkan pembangunan pembangkit listrik berskala besar dan tidak bersifat musiman seperti sumber enerhi baru dan terbarukan lainnya.
Begitu pun dari sisi pengurangan emisi karbon, penggunaan satu pembangkit nuklir ini bisa mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 9 juta ton per tahun atau setara pengurangan emisi dari 2 juta mobil. Dari sisi lapangan kerja, saat pembangunan dua reaktor PLTN 3,2 Giga Watt (GW) bisa menyerap tenaga kerja hingga 25.000 orang.
Dari sisi pembangkit pun, menurut Bambang, yang bisa mengganti sumber energi fosil seperti bahan bakar minyak (BBM) dan gas adalah nuklir. Satu unit PLTN bisa melistriki hingga 1,6 juta rumah.
Dengan pemilihan lokasi yang tepat seperti Kalimatan atau Bangka Belitung untuk pembangunan PLTN, Indonesia pun berpeluang mengekspor listrik ke Singapura yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap energi bersih.
Pada perkembangan terbaru, seiring dengan rencana pemindahan ibukota ke Kalimantan Barat, sebuah studi kelayakan sedang dilakukan BATAN untuk membangun PLTN pertama di sana.
Sebagai sebuah studi, ia tetap saja nyaris seperti mimpi. Mungkin menjelma nyata, namun mungkin juga berhenti di sana.***