Perlu Regulasi Untuk Mengatur Konten Sosial Media
Penggunaan sosial media yang demikan masif di Indonesia menjadi tantangan tersendiri, mengingat banyak konten yang ‘tak layak’ muncul tanpa adanya regulasi khusus.
Belakangan aplikasi TikTok kian berkembang karena semakin banyak kreator-kreator mencoba membuat video-video singkat versi TikTok. Namun sayangnya, banyak yang tak paham, etika penyiaran.
Ada sejumlah konten ‘tak layak’ muncul. Misalnya, ada gadis yang memakai pakaian ketat dan pendek, joget-joget menonjolkan (maaf) bokongnya. Sejumlah kata-kata ‘kasar’ juga kerap muncul dan masih banyak konten-konten tak sopan lainnya.
Kebanyakan mereka membuat konten dengan tujuan menjadi viral tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi di kemudian hari.
Mulai dari Facebook, Twitter, Line, Instagram, TikTok, Whattsapp, YouTube, Podcast, Vtube, Snack Video dan masih banyak lainnya, menyajikan konten-konten yang bebas tanpa batas di Tanah Air. Dan bukan tidak mungkin, ke depan akan muncul media-media digital baru.
Terkait hal ini, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat, Agung Suprio mendukung sekaligus mendorong pembuatan aturan dan pengawasan sosial media dan media baru di Indonesia, termasuk Podcast dan TikTok.
Ia berpendapat, jika saat ini terjadi kekosongan regulasi tersebut. Aturan ini dianggap perlu untuk melindungi karakter bangsa. Ia khawatir konten media baru dapat menjadi pengaruh negatif pada generasi muda.
“Perkembangan teknologi memunculkan platform-platform lain seperti sosmed dan lain sebagainya, termasuk Podcast. Sementara itu, UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran tidak ada kewenangan mengatur media ini. Jadi ada kekosongan mengenai media baru ini. Padahal, media baru memerlukan pengawasan,” ungkap Agung beberapa waktu lalu seperti dilansir dari Kompas.com
Ia menyebutkan jika pihaknya menemukan banyak konten media baru ini tidak layak tonton bagi anak-anak. Misalnya, ada tayangan yang berisi perkataan kasar di TikTok.
"Jika media baru tidak diatur kita akan berpotensi kehilangan jati diri bangsa karena tidak adanya regulasi yang jelas dalam hal ini,” kata Agung lagi.
Sejauh ini, KPI menurut Agung terus mendesak agar pengaturan media baru ini juga dicantumkan dalam revisi UU Penyiaran. “Kita masih menunggu RUU Penyiaran yang diharapkan akan ada tentang media baru. Banyak negara maju yang memiliki regulasi media baru dan ini harus menjadi acuan bangsa Indonesia untuk peduli juga media baru,” ujarnya.
Agung mengatakan, KPI siap mengawasi konten digital jika ada regulasi yang memberi wewenang pada KPI.
Dewi Suspaningrum, salah satu wartawati senior media cetak di Indonesia mengaku sedih, dengan konten-konten beragam yang muncul di sosial media saat ini. “Mereka membuat konten tanpa kode etik. Sementara kami, wartawan punya kode etik yang profesional,” keluh Dewi.
“Sehingga wartawan yang juga berfungsi menyampaikan informasi sama seperti kreator-kreator sosial media itu, bisa memilih mana yang layak disampaikan atau tidak,” sambung Dewi.
Di sisi lain, sebelumnya, Ahli Pers Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Wina Armada Sukardi, mengusulkan perlunya undang-undang (UU) media sosial. Nantinya, UU tersebut akan menampung perkembangan teknologi komunikasi di media sosial, termasuk penciptaan norma-normanya.
Bagaimana dengan di Jepang? Masyarakat Jepang juga menggunakan sosial media untuk berinteraksi dan mendapatkan informasi, namun tidak semasif di Indonesia.
Sebutan dalam Bahasa Jepang untuk media sosial adalah Social Networking Services (SNS). Aplikasi Twitter lebih banyak digunakan masyarakat Jepang lantaran kerap digunakan oleh kalangan pebisnis, politikus, artis dan juga masyarakat umum.
Aplikasi TikTok masuk ke Jepang pada 2017, dan cukup banyak digunakan oleh kalangan remaja. Tiktok lebih disukai karena tidak perlu membuat video berdurasi panjang untuk mengekspresikan diri mereka.
Biasanya remaja di Jepang lebih suka membuat video TikTok saat bersama teman-temannya. Mereka umumnya tidak berlomba-lomba membuat konten viral, sehingga tidak mengabaikan unsur-unsur etika.
Sementara Instagram atau dalam Bahasa Jepang disebut ‘Insutaguramu’ biasa digunakan masyarakat Jepang hanya untuk meng-update kehidupan pribadi mereka saja, khususnya pengguna wanita.
Di sisi lain, Jepang juga banyak memiliki YouTubers yang memiliki lebih dari 1 juta subscribers. Mereka juga aktif membuat konten sehingga jumlah influencer pun semakin banyak di Jepang.
Bahkan kalangan pelaku usaha juga memanfaatkan konten di YouTube untuk mempromosikan usaha mereka.