Pengaruh QAnon Mengglobal, bahkan Hingga ke Jepang
Di Jepang, ternyata ada juga pendukung setia gagasan dan kebijakan presiden yang sebentar lagi (diharapkan) lengser, Donald John Trump. Mereka merupakan penganut QAnon.
Simbol QAnon sering muncul dalam aksi massa yang memihak Trump.
Joseph Robinette Biden, Jr boleh jadi tinggal menghitung hari untuk menghuni Gedung Putih, simbol hakiki atas kekuasaan eksekutif nomor wahid di Amerika Serikat (AS). Namun pendahulunya, Trump, hingga menjelang penghujung 2020, tak kunjung menunjukkan tanda-tanda rela “turun tahta.”
Pasalnya, masih saja ada pencinta—kebanyakan kelompok-kelompok ekstrim kanan—yang terus mengulurkan dukungan meski para sekutu terdekat Trump sendiri sudah berguguran.
Salah satu di antara para pendukung itu adalah para penganut teori konspirasi QAnon.
Mereka ekstra yakin bahwa Trump adalah sosok tepat untuk berperang melawan elit global yang mengelola “kerajaan setan penuh rahasia” dari balik layar. Juga bahwa Trump adalah pemenang pemilihan presiden (pilpres) November 2020, bukan Biden.
Biden dan Partai Demokrat yang mengusungnya, bagi mereka, adalah bagian dari “kerajaan setan penuh rahasia” itu.
Trump sendiri tak mengakui adanya kaitan antara dirinya dan para QAnon-ers namun selama kampanye pilpres 2016 hingga menjabat, ia diketahui me-retweet akun yang mempromosikan teori konspirasi QAnon hingga 185 kali.
QAnon pada awalnya adalah sesuatu yang “Amerika banget.” Setiap kali beraksi, khususnya di dunia maya, QAnon mengungggah semacam teka-teki yang seakan menyihir pembacanya untuk bergerak mengikuti arahannya termasuk untuk menggelar demo atau untuk menghadiri dan mendukung kampanye pilpres Trump.
Para QAnon-ers mengungkap dukungan pada tokoh idaman mereka.
Huruf Q pada simbol QAnon juga dikaitkan dengan kode rahasia di Departemen Energi AS yang memungkinkan pemegang kode Q untuk mengakses data-data rahasia negara.
Belakangan pergerakan QAnon cenderung mengglobal. Penganutnya, menurut peneliti teori konspirasi Marc-André Argentino dari Concordia University, Canada, kini ada di 71 negara.
Jepang tak terkecuali.
Itu sebabnya menjelang akhir November 2020 muncul sekitar 200 pedemo jalanan di Taman Hibiya, Tokyo bagian tengah, yang mengusung poster dengan tulisan “Stop Pemberitaan Tak Berimbang” atau “Akui Adanya Kecurangan di Pilpres AS.” Pesan seperti itu sangat khas QAnon.
Beberapa di antaranya juga menyatakan, “Trump satu-satunya pemimpin yang mampu menghadapi Presiden Tiongkok Xi Jinping."
Para pencinta Trump di Jepang, menurut laporan Kyodo, gigih menyelenggarakan acara guna menyatakan support pada sosok berlatarbelakang dunia bisnis dan hiburan itu. Bahkan ketika suasana liburan sudah terasa di seantero negeri.
Salah seorang penganut QAnon di Negeri Sakura berbicara tanpa mengungkap identitasnya dan mengaku bertekad untuk selalu melindungi ”kebebasan menyatakan pendapat.”
"Hal ini penting karena masyarakat kini dikontrol oleh sekelompok kecil elit,” katanya.
Rekannya, seorang lelaki di usia 40-an menyatakan yakin Trump akhirnya bakal menjabat dalam dua termin. “Suatu informasi besar pada akhirnya akan muncul tentang hasil pilpres AS yang sesungguhnya,” katanya.
Diperkirakan penganut inti QAnon di Jepang kini ada sekitar 100 orang. Jumlah yang amat sangat sedikit dibanding keseluruhan populasi yang sekitar 126 juta.
Namun, Jepang adalah negara di mana masyarakatnya tak terbiasa berisik dalam menyuarakan aspirasi. Akibatnya, kehadiran para QAnon-ers ini lumayan “terasa” karena mereka cenderung “suka heboh.”
Belum lagi peran dunia maya. Contohnya adalah suatu akun Twitter yang menyediakan terjemahan ke dalam Bahasa Jepang semua informasi terkait QAnon di AS dan sempat mempunyai 80.000 follower. Akun itu kini telah di-suspend sementara Facebook dan Instagram belakangan juga gencar memberangus akun-akun seperti itu.
Para penganut QAnon di Jepang rajin menyuarakan bahwa pagebluk Covid-19 yang masih merajalelala adalah ulah manusia. Demikian juga gempa bumi dan tsunami yang memicu bencana Fukushima hampir sedasawarsa lalu.
Pertanyaannya bagaimana penganut QAnon—yang tak jelas pemimpinnya—bisa cepat menyebar melewati batas geografis AS?
Tidak diragukan, QAnon memperoleh banyak keuntungan dari pagebluk Covid-19.
Virus yang cukup mematikan dalam skala global ini dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam narasi bahwa ada perbuatan jahat yang direncanakan oleh komplotan rahasia dengan kuasa kendali amat luas.
Sementara itu, tindakan penguncian (lockdown) di sejumlah negara juga menciptakan kondisi sosial bagi teori-teori konspirasi untuk lekas berkembang. Utamanya di antara orang-orang yang kecewa karena kehilangan pekerjaan serta mesti menghadapi keluarga yang terinfeksi parah. Mereka akhirnya terdorong menghabiskan banyak waktu untuk online.
Dalam konteks seperti ini para QAnon-ers di AS atau di manapun, termasuk Jepang, seolah mendapatkan “jurubicara” idaman dalam sosok Trump.
Ia gencar mengirim pesan lewat akun Twitter sambil mengabaikan norma umum dan menyebut semua yang berseberangan dengannya sebagai bagian dari kelompok jahat yang bersembunyi di balik kaum kiri mapan dan institusi-institusi resmi.
Apakah kemudian ketika badai Covid-19 dan pengaruh Trump reda, “daya tarik” mereka juga bakal sirna?
Tampaknya hal seperti itu masih harus ditunggu seiring perjalanan waktu.
Yang pasti, teori konspirasi akan terus ada selama ketidakpuasan pada suatu sistem pemerintahan dan kemasyarakatan tak dikelola dengan baik.***