Pemerintah, Media Massa Jepang Berbeda Sikap dalam Penyerbuan Capitol Hill
Ada perbedaan nyata antara pemerintah dan media massa di Jepang dalam menanggapi penyerbuan Capitol Hill, jantung kekuasaan legislatif, di AS. Apa yang melatarbelakanginya, menarik untuk diamati.
Ketika massa menyerbu gedung parlemen Amerika Serikat (AS), Capitol Hill, di Washington, DC, pada 6 Januari—peristiwa yang luas dipercaya sebagai akibat dari “dorongan” dari Presiden Donald Trump—para pemimpin dari aneka penjuru dunia, termasuk Jepang, menyatakan kecaman.
Bedanya hanya, dibanding para pemimpin lain, pemimpin Jepang cenderung menggunakan kata-kata yang lebih “sopan dan lunak.”

“Harapan kami, situasi sulit yang dihadapi demokrasi AS bisa dilalui, sementara harmoni dan stabilitas bisa pulih sehingga AS mampu bergerak maju dalam damai dan dalam transisi kepresidenan yang demokratis,” demikian dikatakan Sekretaris Utama Kato Katsunobu, menyusul penyerbuan yang menewaskan lima orang termasuk petugas keamanan tersebut.
Ditanya apakah Trump bertanggungjawab atas penyerbuan untuk menolak sertifikasi kemenangan lawannya, Joseph Biden, dalam pemiilihan presiden (pilpres) November tahun lalu itu, Kato menolak menjawab tegas. Ia hanya menyatakan hal itu merupakan urusan dalam negeri AS.
Dalam pilpres, Biden yang diusung Partai Demokrat menang cukup telak namun Trump yang didukung Partai Republik tak pernah mengakuinya.
Akibat ulahnya, House of Representatives pada 13 Januari, mengambil keputusan untuk memakzulkan (impeach) Trump. Hal dimaksud menjadikan dirinya satu-satunya presiden AS yang pernah dimakzulkan dua kali selama menjabat.
Kato dalam pernyataannya tak terang-terangan menyebut nama presiden AS ke-45 itu. Sementara di belahan dunia lain, tepatnya di Jerman, Kanselir Angela Merkel jelas-jelas menyalahkan pemimpin yang segera lengser itu dan menyebutnya sebagai sosok yang menciptakan atmosfir kekerasan.
Di New Zealand, Perdana Menteri (PM) Jacinda Ardern mengatakan demokrasi tak boleh dipinggirkan lewat kerusuhan massa. Di Perancis, Presiden Emmanuel Macron menyebut ulah sang presiden satu masa jabatan itu sebagai ancaman pada demokrasi dan pada hak suara setiap individu dalam pemilihan umum (pemilu).
Bahkan PM Inggris Boris Johnson yang sebelumnya dikabarkan cukup dekat dengan sosok berjuluk “Orange Man” itu menyatakan ia layak dicerca karena mendorong orang berperilaku memalukan. Johnson juga mengaku bersyukur demokrasi di AS tetap menang karena Kongres (House of Representatives dan Senate) akhirnya mengkonfirmasi kemenangan Biden.
Pernyataan lebih spesifik—meski juga tak tergolong “keras”—datang dari PM Suga Yoshihide. “Dunia melihat AS sebagai wujud sistem demokrasi. Karena itu, apa yang terjadi, amat patut disesalkan. Saya berharap AS akan bergerak dari konflik menuju persatuan di bawah kepemimpinan Biden sebagai presiden berikut.”
Akibat pernyataan-pernyataan lunak itu, sejumlah politisi dari Liberal Democratic Party (LDP) mengkritik Suga dan menganggap pesan yang disampaikannya tak cukup jelas.
“Sebenarnya penting bagi PM untuk mengeluarkan pesan terang benderang pada dunia. Kanselir Merkel, misalnya, secara terbuka mencerca presiden AS karena mendorong terjadinya kekerasan,” kata Sato Masahisa dari LDP.
Sato juga menjelaskan, meski demikian, Merkel juga menyatakan ketidaksukaannya pada kebijakan para operator media sosial seperti Twitter dalam membungkam sosok yang tinggal menghitung hari untuk tinggal di Gedung Putih itu.
Tentang Jepang yang tak begitu “seru” dalam mengecam pemimpin AS itu, para pakar Jepang tentang perpolitikan Negeri Paman Sam menyatakan, “Agaknya ini dikarenakan hubungan PM sebelumnya, Abe Shinzo, dan Trump yang akrab.”
Hubungan Abe dengan sosok yang menghindari wajib militer saat Perang Vietnam itu memang erat kata Aida Hiro dari Kansai University, yang menambahkan sebaliknya, relasi Abe dengan presiden AS terdahulu, Barack Obama, cenderung “berjarak.”
Dengan demikian, Suga tampaknya tak ingin segera mengusik “legacy” kebijakan Abe yang berhasil menguatkan hubungan bilateral Tokyo-Washington termasuk dalam terus membantu Jepang ketika mesti menghadapi agresi pihak luar.
“Lagi pula Suga berasal dari partai bergaris konservatif yang di Jepang artinya adalah pragmatisme dan kecenderungan mengabaikan apa yang disebut prinsip dan idealisme. Itu sebabnya, Jepang juga cenderung ‘tak berisik’ soal Hong Kong, misalnya,” kata Aida.
Mendukung opini tersebut, Nakabayashi Mieko dari Waseda University’s School of Social Sciences menyatakan, “Suga berjanji pada warga Jepang dan anggota LDP akan menjaga warisan kebijakan Abe. Mengkritik Trump bisa ditafsirkan sebagai mengkritik Abe juga. Suga jelas tak ingin melakukan itu.”
Berbeda dengan para pemimpin, media massa di Jepang jauh lebih vokal dalam menghadapi perkembangan situasi di AS.
Asahi Shimbun, misalnya menyatakan dalam editorialnya, bahwa apa yang terjadi di AS membahayakan semua demokrasi.
Yomiuri Shimbun dan Mainichi Shimbun sama-sama menyebut peristiwa 6 Januari sebagai noda pada proses demokrasi.
Surat-surat kabat regional juga mengecam keras seraya mengingatkan pada fakta bahwa demokrasi di AS dalam bahaya. Mereka juga tak enggan untuk jelas-jelas menyebut nama presiden yang tinggal kurang dari seminggu lagi berkuasa itu.
Editorial Chugoku Shimbun menyebut yang terjadi di Capitol Hill adalah aksi kriminal oleh Trump dan tak perlu ada keraguan untuk menyebut peristiwa itu sebagai sangat memalukan.
Hokkaido Shimbun menyebutkan adalah menjadi tugas Biden sebagai presiden AS ke-46 untuk memperbaiki kerusakan yang telanjur terjadi dalam demokrasi AS.
Perbedaan posisi antara pihak eksekutif dan media massa tersebut amat jelas sehingga akhirnya terpulang pada warga kebanyakan untuk menentukan pandangan masing-masing.
Yang pasti, hubungan antar pemimpin AS dan Jepang selalu bisa mengalami pasang surut. Namun, kedua negara adalah sekutu. Sekarang dan, tampaknya, hingga jauh ke depan. ***