Menyempurnakan Isi dengan Kemasan Cantik
Membuka kemasan oleh-oleh dari Jepang selalu terasa menyenangkan. Oleh-oleh itu dibungkus sangat cantik hingga terasa sayang untuk dimakan.
Suvenir dari Jepang selalu dibungkus rapi dan cantik.
Dalam hal mengemas produk, Jepang adalah juara dunia. Konsumen Negeri Sakura yang terobsesi pada detil selalu menginginkan produk sempurna secara visual dan berfungsi tanpa cela.
Bisa dikatakan, konsumen Jepang paling cerewet di dunia. Mereka menginginkan standar sangat tinggi dalam hal pengemasan makanan. Buat mereka, “gigitan” pertama makanan harus dimulai dari mata.
“Mengemas dalam persepsi budaya Barat adalah untuk menyamarkan benda yang ada di dalamnya. Sementara masyarakat Jepang melihat pembungkusan sebagai sarana menyempurnakan penampilan benda di dalamnya. Membungkus dalam budaya Jepang mengandung banyak arti,” kata profesor sosial antropologi dari Oxford Brookes University Joy Hendry.
Menurutnya, orang Jepang tak hanya senang membungkus hadiah tapi juga dirinya dengan sempurna dalam balutan busana atau kimono. Ketika berbahasa pun mereka juga membungkusnya dengan ungkapan-ungkapan sopan. Penulis buku Wrapping Culture: Politeness, Presentation, and Power in Japan and Other Societies ini mengatakan mengemas hadiah berarti peduli pada penerimanya sekaligus mencerminkan kesopanan si pemberi.
Tsutsumu atau membungkus dalam bahasa Jepang memiliki arti khusus, tak sekedar membingkai hadiah tetapi juga memberi batas yang khusus dan suci. Dengan kata lain, membungkus berarti memisahkan sesuatu yang murni dan bersih dari hal yang kotor.
Di masa silam masyarakat Jepang menggunakan kain untuk membungkus. Kebiasaan menggunakan kain pembungkus ini berawal dari jaman Nara (710-784). Ketika itu mereka menyimpan barang-barang berharga milik Kaisar dalam buntelan kain. Di masa Heian (794-1185) kain pembungkus digunakan untuk mengangkut benda-benda kepunyaan kaum bangsawan.
Saat jaman Muromachi (1338-1573) Shogun Ashikaga mulai membangun tempat pemandian bersama. Para bangsawan menggunakan kain sutra dengan sulaman lambang keluarga masing-masing untuk menyimpan agar pakaian mereka tak tertukar dengan orang lain. Ketika pemandian umum semakin menjamur di jaman Edo (1603-1868) kain pembungkus digunakan sebagai alas ketika melepas baju. Pakaian kemudian disimpan dalam kain tersebut.
Berjalannya waktu, furoshiki tak lagi hanya dipakai di sento tetapi juga digunakan pedagang untuk melapisi barang jualannya. Perkembangan selanjutnya, furoshiki digunakan masyarakat Jepang untuk membungkus aneka benda beragam bentuk.
Kebiasaan menyampul dengan furoshiki ini semakin memudar setelah Perang Dunia Kedua. Pamornya kalah dengan kantung plastik. Tetapi beberapa tahun belakangan ini statusnya naik kembali seiring dengan kesadaran lingkungan yang makin besar.
Terlebih lagi waktu Menteri Lingkungan Hidup yang sekarang jadi Gubernur Tokyo, Koike Yuriko pada 2006 mengkreasikan furoshiki yang diberi nama Mottainai Furoshiki untuk mempromosikan budaya buntelan tradisional yang memudar itu. Menggunakan bahan pembungkus yang bisa dipakai ulang dipercaya bakal mengurangi sampah rumah tangga dari kantung plastik.
“Kain pembungkus itu disebut furoshiki, furo artinya mandi sedangkan shiki berarti menggelar. Diberi nama demikian karena sejarahnya yang erat dengan pemandian umum,” ujar praktisi seni furoshiki dari Jakarta Evi Moeljo.
Bila di jaman baheula pembungkus terbuat dari materi-materi alami, kain furoshiki di jaman moderen terbuat dari sutra, katun, rayon dan nilon. Evi memanfaatkan bahan-bahan bermotif Jepang yang didapat dari pasar Tanah Abang, Jakarta.
“Bahan bermotif bangau cocok untuk mengemas hadiah kelahiran anak. Motif ikan koi cocok untuk mendoakan anak agar sehat dan kuat. Sedangkan kain motif kura-kura pas diberikan untuk mendoakan agar penerimanya panjang umur. Motif akar-akaran tepat untuk membungkus hadiah yang mempererat hubungan kekeluargaan,” terangnya.
Kain pembungkus itu pun bisa dipakai lagi. “Pembungkus furoshiki ini ketika dibuka bisa digunakan juga sebagai taplak meja atau jilbab,” kata Evi.***