Menanti Kepemimpinan Amerika dalam Proyek Perubahan Iklim
Keputusan Presiden Joe Biden untuk kembali ke Protokol Paris membawa harapan besar. Tetapi sejauh mana Amerika akan melangkah untuk mengatasi perubahan iklim?
Dunia menyambut gembira keputusan Presiden Amerika Serikat Joe Biden untuk kembali melaksanakan komitmen Amerika yang sudah diputuskan di ibu kota Prancis bersama 197 negara lain di dunia pada 2015 lalu.
Ini tentunya tidak lepas dari keputusan kontroversial yang diambil presiden yang baru saja lengser Donald Trump.
Trump, dengan narasi bahwa Protokol Paris, atau yang dikenal dengan Paris Concord, hanya membebani ekonomi Amerika tanpa keuntungan yang nyata, membawa Amerika keluar dari kesepakatan itu di 2017.
Dunia dibuat terperangah namun tidak bisa berbuat apa-apa karena kesepakatan itu sendiri tidak bersifat mengikat alias sukarela. Trump kala itu berargumentasi bahwa kesepakatan itu hanya akan menelorkan aturan-aturan yang kontra produktif untuk para pengebor minyak, para penambang dan pabrikan.
Selama lebih kurang empat tahun Trump sudah menafikan pendapat para ahli perubahan iklim dan membalikan aturan-aturan untuk membuka jalan bagi perkembangan industri bahan bakar fosil tanpa menghiraukan dampak lingkungan yang ada di depan mata.
Para pemerhati iklim mengatakan Trump sudah membuat Amerika menjadi pariah ditengah berbagai kesepakatan global menyangkut perubahan iklim.
“Kita sudah berada diluar jalur dalam empat tahun terakhir dengan terus menyangkal fakta tentang perubahan iklim,” kata John Podesta , penasehat presiden terdahulu Barack Obama yang juga aktif membantu merumuskan Protokol Paris di kala itu.
Tentunya Protokol Paris menjadi tidak signifikan tanpa komitmen yang nyata dari Amerika mengingat negeri Paman Sam ini menjadi penyumbang emisi terbesar nomor dua di dunia setelah Tiongkok.
Pada 2017 sumbangan emisi CO2 Tiongkok mencapai 28,21% dari total emisi dunia. Di tempat kedua, adalah Amerika, yakni sebesar 15,99%, diikuti India di urutan ketiga dengan sumbangan 6,24%.
Polusi karbon dioksida telah dimulai sejak pertengahan abad ke 18 ketika dimulainya industrialisasi di muka bumi di kawasan Eropa dan hingga saat ini berlanjut ke negara berkembang di seluruh dunia. Itulah sebabnya negara-negara industri maju dianggap paling bertanggungjawab atas perubahan iklim dengan segala dampaknya yang terjadi sekarang.
Selain usaha secara konsisten yang akan direvisi setiap lima tahun sekali, Negara-negara maju juga diwajibkan menyediakan dana untuk mitigasi bencana akibat perubahan iklim di negara-negara yang masih terkebelakang.
Amerika telah memutuskan untuk menyumbang US$3 miliar untuk tujuan itu tetapi baru menyetor US$1 miliar di masa pemerintahan Obama.
Lalu apa yang dapat dilakukan Biden untuk dunia yang semakin panas ini?
Biden, menurut para pembantunya, akan membawa Amerika kembali pada tracknya yakni menjadi negara dengan nir emisi pada 2050 dengan memotong penggunaan energi fosil dan mendorong investasi yang masif pada energi bersih.
Pemerhati bisnis global meyakini bahwa akan mengalir dana-dana untuk pembangunan berkelanjutan dari lembaga keuangan dunia seiring dengan komitmen yang dibuat Amerika di bawah Biden.
Amerika dianggap dapat memainkan kepemimpinan globalnya untuk mendorong pertumbuhan energi-energi bersih baik dalam artian teknologi maupun investasi.
Tetapi banyak kalangan menilai jalan menuju kesana tetap saja tidak akan mudah. Kepentingan-kepentingan politik serta tekanan-tekanan dari perusahaan penyedia bahan bakar fosil akan menjadi penghambat yang nyata.
Memang para penggiat perubahan iklim menyambut baik kembalinya Washington ke dalam kerjasama untuk perubahan iklim ini tetapi cukup skeptis tentang kemampuanya untuk mengatasi gejolak politik dalam negrinya sendiri untuk dapat merealisasikan aturan-aturan baru yang ambisius. Hanya dengan menyelesaikan pekerjaan rumah dalam negrinya Biden dapat memperoleh kembali kredibitas Amerika.
Brian Deese, Direktur Dewan Ekonomi Nasional yang ditunjuk Biden mengatakan Amerika berharap mendorong emitter besar lainnya menaikan ambisi mereka dan menunjukkan kepemimpinan Amerika.
Hua Chunying, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengatakan Tiongkok sebagai penyumbang emisi karbon terbesar di dunia menunggu apa yang akan dilakukan Amerika setelah kembali ke Protokol Paris.
Betul bahwa dunia sedang menunggu kemampuan Biden dan wakilnya KamalaHarris untuk memberikan solusi bagi krisis perubahan iklim dengan menggelorakan kembali komitmen yang sudah dibuat di Paris. Tetapi lebih dari itu, ia harus menyelaraskan janji dan komitmen keuangan yang sudah ia buat.
Pete Betts, dari Chatham House, London, yang memimpin delegasi Uni Eropa dalam Protokol Paris mengatakan “Amerika harus meletakan sejumlah uang di atas meja untuk memberanikan yang lain melakukan hal yang sama.”
Ya, dunia tentu kembali bersemangat bersama Biden yang peduli bersama pemimpin dunia lainnya.
Tetapi tidak dapat disangkal bahwa proyek perubahan iklim ini ( climate project) adalah masalah siapa melakukan apa dan mendapatkan apa. Untuk itulah kepemipinan Biden mungkin dibutuhkan, lebih dari pendahulunya. ***