Menanti Kehadiran 8 Frigat Canggih di Jajaran TNI-AL
Indonesia memiliki “tradisi” berpaling ke Eropa dalam pengadaan kapal bagi TNI-AL. Namun kali ini giliran Jepang. Yang lebih menarik adalah pengadaan tersebut disertai peta alih teknologi yang jelas.
Indonesia dan Jepang baru saja menandatangani perjanjian yang memungkinkan Negeri Sakura mengekspor ke Indonesia sejumlah peralatan pertahanan/militer.
Perjanjian bilateral itu ditandatangani kedua belah pihak dalam peremuan dengan format “2 plus 2” yang melibatkan menteri luar negeri (menlu) dan menteri pertahanan (menhan) Indonesia dan Jepang pada 30 Maret.
Mulusnya langkah menuju kesepakatan tersebut tampaknya dilandasi kekhawatiran kedua negara soal makin menguatnya pengaruh Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik termasuk klaim teritorial yang dilancarkan negara tersebut atas sejumlah wilayah di Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur.
Belakangan disebutkan bahwa sesuai perjanjian Jepang bisa mengekspor hingga delapan unit frigat siluman kelas Mogami untuk TNI-AL. Resmi dikenal sebagai 30FFM, 30FF, 30DX dan 30DEX, generasi pertama frigat super canggih yang multifungsi itu kini tengah dibangun Mitsubishi Heavy Industries bersama Mitsui Engineering and Shipbuilding di galangan di Nagasaki and Tamano.
Pada November 2020, JS Kumano, kelas Mogami pertama yang selesai dibangun, diluncurkan di galangan Mitsui Tamano. Sementara itu, JS Mogami, kapal utama di kelas ini, diluncurkan di Nagasaki Shipyard & Machinery Works pada awal Maret 2021.
Keduanya merupakan bagian dari 22 kapal yang dipesan Angkatan Bela Diri Maritim Jepang atau Japanese Maritime Self Defense Force (JMSDF).
Majalah Sea Power menyatakan frigat-frigat tersebut dimaksudkan untuk mengganti beberapa kapal penyapu ranjau dan kapal pengawal JMSDF. Fungsi utamanya adalah menjaga perdamaian, memerangi perompakan serta melakukan aneka misi kemanusiaan.
Menurut laporan sejumlah media sebelumnya, rencana sementaranya adalah Jepang mengirimkan empat kapal pada akhir 2023 atau awal 2024. Sementara itu empat lainnya akan dibangun oleh PT PAL di galangannya di Surabaya di bawah perjanjian alih teknologi.
Dari perspektif Indonesia, tak sulit untuk memahami mengapa perjanjian seperti itu akhirnya dijalin dengan Jepang. Indonesia memang tidak termasuk ke dalam daftar negara yang mempunyai klaim atas Laut China Selatan.
Namun dalam beberapa waktu terakhir, tetap saja timbul friksi dengan Tiongkok di sekitar perairan Natuna. Banyak dari friksi itu disebabkan oleh sikap Beijing yang ekspansif termasuk dalam “mengaku-ngaku” batas perairan yang dinyatakannya secara sepihak melalui apa yang disebutnya sebagai “nine dash line.”
Alhasil, TNI-AL memiih untuk meningkatkan dan memperkuat kehadirannya di Natuna Besar, pulau paling luas di perairan Natuna,selain gencar menggelar latihan militer di perairan di mana Tiongkok—lagi-lagi secara sepihak—menyebutnya sebagai wilayah operasi tradisional para nelayannya.
Bahkan pada 5 April TNI-AL menggelar acara yang menandai dimulainya pembangunan stasiun bantuan di Natuna Besar. Stasiun bantuan itu sangat dimungkinkan untuk kelak dikembangkan sebagai pangkalan kapal selam.
Tiongkok, di lain pihak, terus menimbulkan gangguan belakangan ini terutama kepada Filipina yang berujung pada perang kata-kata. Filipina mengecam kehadiran 200 kapal milisi Tiongkok di perairan sekitar Whitsun Reef. Saat air surut Whitsun Reef akan jelas muncul ke permukaan sebagai bagian dari Kepulauan Spratly, yang berada dalam wilayah ekonomi eksklusif Filipina.
Jepang dan Indonesia setelah pertemuan 30 Maret tersebut mengeluarkan pernyataan bersama yang mengungkap “keprihatinan bersama atas berlanjutnya eskalasi upaya mengubah status quo dengan kekerasan.” Kedua negara kemudian juga menyatakan pentingnya penghormatan atas hukum laut internasional.
Harga setiap kapal kelas Mogami diperkirakan mencapai US$450 juta. Jadi pesanan Indonesia, jika mewujud, total bakal bernilai US$3.6 miliar dan menjadi pembelian alutsista paling besar yang pernah terjadi antara Indonesia dan Jepang.
Kapal-kapal itu bakal memperkuat kemampuan jelajah jarak jauh TNI-AL pula. Apalagi ketika dilengkapi dengan senjata MK 45 5-inchi, rudal anti-kapal darat ke udaral, torpedo Type 12 dan decoy launchers. Kelas Mogami mempunyai kemampuan melakukan operasi hingga 18.000 km jauhnya, dua kali lebih jauh dari frigat-frigat yang ada di jajaran TNI-AL kini.
Sementara itu, belanja militer Indonesia pada 2020 naik 19.8% menjadi US$9.26 billion dibanding tahun sebelumnya.
Belakangan ini fokus belanja militer Indonesia memang diutamakan untuk TNI-AL dan TNI-AU yang selama ini agak terabaikan jika dibanding dengan TNI-AD. Tentu saja pergeseran fokus ini juga merefleksikann pergeseran dalam aliansi politik di kalangan militer Indonesia serta juga fakta bahwa selama ini militer terlibat dalam penumpasan gerakan-gerakan separatis.
Apapun, pembelian alutsista anyar ini bakal memperkokoh relasi strategis terkait isu pertahanan dengan Jepang.
Relasi tersebut juga merupakan bagian dari makin “tebalnya” hubungan militer secara bilateral di kalangan sejumlah negara yang posisi geografis ada di pinggiran Tiongkok yang belakangan kekuatan maritimnya kian sering memicu gesekan itu.
Jika Beijing tak mengubah sikapnya, di masa depan bisa dipastikan bahwa bentuk kerjasama seperti yang sudah dijalin antara Indonesia dan Jepang akan makin banyak. ***