Menagih Tanggungjawab The Seven Sisters
Isu perubahan iklim nampak mirip pademi covid 19. Ia mengubah semua yang tadinya biasa menjadi tidak biasa.
Seruan utusan Amerika Serikat untuk masalah perubahan iklim John Kerry kepada raksasa-raksasa minyak dunia untuk berada di garis depan transisi energi dunia menjadi masuk akal ketika peran mereka dalam masalah perubahan iklim dibicarakan kembali secara jujur dan adil.
Industri ekstraktif yang menyedot sumber energi fosil dari dalam perut bumi ini telah menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca baik dalam proses produksi mereka maupun hasil akhir yang mereka diproduksi.
Ketergatungan dunia pada industri ini yang sudah berjalan berabad-abad membuat mereka menjadi penguasa global(melebihi kuasa Negara adidaya). Tersebutlah kisah Seven Sisters--- raksasa-raksasa minyak dunia yang menguasai industri ini dari ujung dunia yang satu ke ujung yang lainnya.
Ketujuh penguasa global itu: Perusahaan Minyak Anglo-Iran (awalnya Anglo-Persia; sekarang BP ), Royal Dutch Shell, Standard Oil Company of California (Sekarang Chevron), Gulf Oil (sekarang digabung menjadi Chevron), Texaco (sekarang digabungkan menjadi Chevron), Standard Oil Company of New Jersey ( Esso, kemudian Exxon,sekarang menjadi bagian dari ExxonMobil ) Standard Oil Company of New York (Socony, kemudian Mobil, sekarang bagian dari ExxonMobil).
Mereka adalah living legends: legenda hidup yang (semula dikira) mungkin tidak akan pernah mati, sebelum isu perubahan iklim membalikan cerita mereka. Dunia beramai-ramai menyalahkan mereka atas berbagai bencana terkait iklim yang meniadakan apa yang sudah dibangun ( juga atas sumbangan mereka).
Dan cerita simpang siur tentang merekapun terus berlanjut. Sama seperti kisah kartel Seven Sisters yang menggenggam dunia dalam cakar mereka semenjak 1940 hingga tahun 70an, kisah-kisah miring (tentang mereka) meluap kemana-mana ketika sebuah institusi pengawas independen bernama InfluenceMap menuding lima dari Seven Sisters itu telah berusaha membelokan pandangan dunia mengenai masalah perubahan iklim, termasuk mengendalikan pandangan media tentang keberadaan mereka.
Ditengah seruan untuk mengurangi penggunaan energi fosil secara radikal untuk menekan laju perubahan iklim, lima raksasa: ExxonMobil, Shell, Chevron, BP dan Total masing-masing dilaporkan telah menghabiskan dana ratusan juta dollar untuk lobi-lobi mereka agar bisa tetap dapat mengoperasikan dan mengembangkan bisnis energi fosil tanpa diganggu(seiring dengan komitmen mereka untuk mendukung kesepakatan iklim Paris 2015 lalu.)
Sebagai kontra informasi Asosiasi Perusahaan Migas Dunia atau IOG (International Association of Oil and Gas Producers) yang berkedudukan di London (Inggris), Brussels (Belgia) dan Houston( Amerika Serikat) baru-baru ini mengeluarkan laporan pertanggungjawaban mereka untuk apa yang mereka sebut sebagai low-carbon future.
Iman Hill, chairman dari IOGP menekankan transisi dari energi fosil ke energi baru terbarukan akan memakan waktu berdekade lamanya dan dukungan dari perusahaan migas dunia yang sudah teruji menjamin ketersediaan dan keterjangkauan energi menjadi tidak terelakan.
Betapapun, katanya, perusahaan migas telah berkontribusi secara sangat signifikan dalam sejumlah bidang termasuk mengganti batubara dengan gas untuk pembangkit listrik, menekan emisi gas buang mereka, berinvestasi dalam energi terbarukan dan biofuel, mengembangkan teknologi carbon capture and storage(CCS) dan green hydrogen.
Carbon Capture and Storage diyakini menjadi solusi teknologi untuk menjawab masalah emisi karena karbon yang keluar dari proses produksi dapat ditangakap dan dibenamkan kembali ke bumi untuk membantu proses produksi selanjutnya. IOG mencatat, jika direrapkan untuk pembangkit listrik, CCS dapat mengamankan 600 milliar ton emisi gas buang(GHG) secara global.
Bahkan IOG mengklaim sejak tahun 1970, ExxonMobil telah berhasil menyimpan 20 juta ton CO2 yang setara dengan emisi dari 25 juta mobil setiap tahunnya. Secara tetap perusahaan ini telah menyimpan 9 juta ton Co2 setiap tahunnya.
Masih dari sumber yang sama, BP (Beyond Petroleum), yang dulu bernama British Petroleum, berambisi membangun pabrik hydrogen terbesar di Inggris dan per tahun 2030 akan mengalokaiskan 20% produksinya untuk kebutuhan sektor transportasi di Inggris.
Sementara itu, Shell dan Total dilaporkan sudah secara intensif terlibat dalam energi angin dan green hydrogen dan berketetapan menjadi pemimpin untuk regim energi baru dan terbarukan per tahun 2030.
Betapapun, kepala International Energy Association (IEA) Fatrih Birol, dalam konferensi daring mengenai perubahan iklim yang digagas Joe Biden baru-baru ini menekankan masih terdapat jarak yang lebar antara komitmen dan aksi nyata.
Birol mengklaim bahwa emisi CO2 secara global akan naik sebesar 1, 5 miliar ton tahun ini setelah resesi yang dikarenakan oleh covid-19 berlalu.
Persoalannya masih sama. Pembakaran batubara. Dan di tangan Seven Sisters ( the old seven sisters) dan Tujuh Saudara Baru (perusahaan migas milik Negara berkembang) transisi energi ini dipertaruhkan. Pengalaman dan teknologi yang mereka miliki membuat transisi ini menjadi sesuatu yang within reach---berada dalam jangkauan. **