Memerangi Sampah Plastik
Indonesia kini berada di urutan kedua di belakang Cina dalam urusan sampah plastik dan secara bersama-sama keduanya menyumbang 10% volume sampah plastik global.
Sesungguhnya, tingkat peradaban sebuah bangsa dapat dilihat dari bagaimana masyarakatnya memperlakukan sampah yang mereka hasilkan sendiri. Dalam batas tertentu, sampah dapat menjadi pembeda yang tajam antara Negara maju dan yang sebaliknya (belum maju), sejauh mana sampah diperlakukan.
Adalah pemandangan yang (nampak) biasa melihat kantong sampah plastik (yang berisi sampah rumah tangga) dibuang begitu saja di pinggir jalan di sejumlah daerah penyangga ibu kota: sebuah tindakan yang sesungguhnya tidak pantas dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya manusia.
Belum lagi bagaimana masyarakat secara tidak berdosa mengambangkan sampah mereka ke sungai dan berharap dibawah menjauh dari hadapan mereka entah kemana. Masalah pendidikan yang rendah ditengarai sebagai penyebab perilaku purba ini.
Tentunya persoalan akan bertambah rumit ketika sampah dari lebih kurang 1700 pulau di Indonesia harus dikumpulkan dan diolah secara benar, ditambah infrastruktur yang memadai untuk mengatasi masalah sampah, utamanya sampah plastik yang sulit terurai.
Ocean Conservancy di Indonesia menemukan bahwa sebagian besar polusi sampah plastik berasal dari pembungkus makanan, sedotan, tutup botol dan botol, kantong plastik, dan kantong sachet kecil. Semua ini menyumbang sekitar 16% sampah plastik di Indonesia.
Data dari kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan Indonesia setidaknya memproduksi 67.8 juta ton sampah setiap tahun dengan tingkat penambahan yang semakin tinggi dari tahun ke tahun (diperkirakan 5% setiap tahunnya).
Sebagai bentuk pertanggungjawaban publiknya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menyatakan bahwa mereka mempunyai visi besar bersama untuk mengurangi sampah hingga 30 % dan melakukan penanganan sampah sebesar 70% di tahun 2025.
Meski begitu, Tsuji Keitaro, pakar JICA, merilis temuannya bahwa pada saat ini sampah plastik telah salah dikelola di Indonesia, 80% di antaranya dibakar atau dikubur. Pada akhirnya, hanya sekitar 10 persen dari sampah plastik yang dihasilkan dapat didaur ulang.
Persolan turunannya adalah meluapnya tempat pembuangan sampah di kota-kota besar, disamping tumpukan sampah plastik yang tidak terurus di daerah-daerah.
Laporan-laporan memperlihatkan bahwa meskipun sebagian besar sampah plastik Indonesia dihasilkan di dalam negeri, impor plastik asing telah menambah tekanan pada sistem pengelolaan sampah yang sudah membebani negara.
Setelah bertahun-tahun menjadi pengimpor limbah plastik terbesar di dunia, China mengesahkan National Sword Policy pada 2018 dan mulai melarang semua impor limbah plastik. Hal ini memicu pergeseran ekspor sampah plastik Eropa, Amerika, Kanada, dan Australia ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Sesungguhnya Indonesia sendiri tidak tinggal diam menghadapi musuh baru bernama sampah plastik ini. Bahkan tentara yang seharusnya berperang membela kedaulatan Negara diterjunkan untuk membasmi sampah plastik yang menumpuk di sungai-sungai.
Disamping itu, pada tahun 2020 lalu, Kementerian Kelautan dan Investasi Indonesia bekerja sama dengan World Economic Forum telah menghasilkan peta jalan yang komprehensif bagi Indonesia untuk mengurangi sampah plastik negara sebesar 70 persen pada tahun 2025 dan mencapai sampah plastik netto-nol pada tahun 2040.
Yang menarik adalah bahwa gerakan menghambat pertumbuhan sampah plastik ini dimotori oleh kaum muda millennial yang bergerak di tingkat akar rumput. Satu hal yang pasti: advokasi harus lebih digencarkan ke hulu untuk menyetop produksi sampah plastik dan menjadikan sampah plastik sebagai musuh bersama.
Mencapai sampah plastic netto-nol pada tahun 2024 mungkin sesuatu yang ambisius. Tetapi yang menggembirakan, pemerintah Indonesia bergerak untuk memperlambat produksi plastik sekali pakai seiring dengan gerakan mengurangi pemakaian plastik di sisi hilirnya.
Kebijakan yang mewajibkan pusat-pusat perbelanjaan untuk tidak menyiapkan kantong-kantong plastik berjalan cukup baik, meski tidak sepenuhnya berjalan di tingkat bawah (pasar-pasar tradisional).
Langkah lain, kelompok akar rumput Indonesia dan inovator zero waste sedang mengerem wadah sekali pakai dengan membuka toko curah di mana konsumen membawa wadah mereka sendiri untuk produk yang mereka beli.
Keterlibatan perusahaan besar telah menyumbang secara cukup signifikan pada usaha menekan laju pertumbuhan sampah plastik ini, utamanya berkat tekanan yang dilakukan sejumlah lembaga sawadaya masyarat (LSM) meminta tanggungjawab sosial perusahaan –perusahaan besar yang menjadi asal muasal munculnya sampah plastik ini.
Inisiatip akar rumput untuk menjaga sungai dan laut dari pencemaran sampah plastik tentu patut mendapatkan dukungan dan apresiasi, juga untuk keberhasilan mereka menggugat para pencemar ke pengadilan.
Kelompok anak muda milenial lainnya telah memimpin kampanye pendidikan di Indonesia untuk masyarakat sadar bahaya sampah plastik dan telah pula mendorong kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah daerah untuk memperjuangkan lautan bebas plastik.
Dalam perspektif demografi, masalah sampah plastik nampak akan sepenuhnya berada ditangan kaum milenilal. Kelompok inilah yang akan menentukan (sekarang) apakah mereka akan terus hidup dengan atau tanpa sampah plastik.***