Memangkas Birokrasi demi Energi Terbarukan
Pusat listrik tenaga angin adalah bagian dari upaya Jepang meningkatkan peran energi terbarukan. Untuk itu proses dan izin pembangunannya diharapkan bisa dilaksanakan dalam tempo singkat.
Jepang berencana memangkas birokrasi. Dalam hal ini jangka waktu yang diperlukan untuk memproses dan mengeluarkan izin pembangunan proyek-proyek pembangkit listrik tenaga angin.
Dalam proyek semacam ini, pembangunan tidak terbatas pada mendirikan turbin/kincir angin tetapi juga mencari lahan yang selama ini tak dimanfaatkan dengan baik dan mengaitkan pusat listrik tenaga angin tersebut dengan jaringan (grid) pembangkit listrik lain yang ada.
Selama ini listrik berbasis turbin angin di Jepang memang tak tergarap dengan baik sehingga upaya membaurkan aneka sumber daya listrik yang bersifat terbarukan juga belum mewujud mulus .
Namun belakangan situasinya mulai berubah. Pasalnya, langkah memangkas proses perijinan sudah dikeluarkan baru-baru ini. Harapannya target untuk mengurangi emisi rumah kaca (greenhouse gas/GHG) bisa menjadi dua kali lipat lebih efektif dan efisien pada 2030 dibanding dengan yang ada sekarang.
Pengumuman soal langkah anyar tersebut berlangsung saat suatu konferensi tingkat tinggi (KTT) global tentang iklim digelar secara virtual pada 22 April dan diketuai Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden.
Sehari kemudian, hal itu dipertegas Menteri Lingkungan Hidup Jepang Koizumi Shinjiro dengan mengatakan, “Seluruh jajaran pemerintah akan bekerjasama mewujudkan energi terbarukan sebagai sumber listrik utama.”
Jepang hingga kini adalah penghasil GHG terbesar No. 5 di dunia. Sasaran baru untuk menguranginya dipatok di level 46% pada 2030, padahal sebelumnya “hanya” 26%. Selain turbin angin, pemerintah Jepang, untuk meraih sasaran dimaksud, juga bakal memperluas penggunaan panel-panel surya di atap-atap aneka bangunan.
Di samping itu, juga mempercepat pembangunan pembangkit listrik panas bumi (geothermal) di kawasan taman nasional.
Menurut Koizumi, Jepang masih punya banyak tempat di mana panel-panel surya sebagai sarana pembangkit tenaga listrik masih bisa dipasang. Termasuk di antara tempat tersebut adalah atap rumah, kantor perusahaan, pabrik, pusat pengolahan air, bendungan serta lahan-lahan pertanian yang sebelumnya terabaikan.
Sementara itu, serangkaian paket deregulasi telah disepakati pula selagi Jepang memantapkan komitmen agar menjadi negara dengan status karbon netral (carbon neutral) pada 2050.
Jika upaya memangkas birokrasi untuk pembangunan lebih banyak pusat listrik tenaga angin sukses, hasilnya adalah listrik berdaya 50 MW.
Bayangkan jika hal yang sama juga dilakukan untuk penempatan panel-panel surya.
Kementerian Industri, sementara itu, juga menimbang-nimbang peningkatan dua kali lipat kapasitas jaringan (grid) listrik antar-daerah di Jepang guna menopang kehadiran turbin angin di wilayah lepas pantai. Turbin angin seperti tiu diharapkan bakal menghasilkan listrik 45 GW pada 2040.
Emisi GHG Jepang pada 2019 tercatat di level 14%, lebih rendah dari emisi pada 2013. Hal itu dipicu fakta bahwa energi terbarukan menyumbang tak kurang dari 18% pada produksi listrik nasional.
Pertanyaannya kemudian, akankah target yang ambisius itu benar-benar masuk akal?
"Benar bahwa target itu ambius dan tidak mudah dilakukan. Apalagi jika mengingat hal yang ingin dicapai adalah 70% lebih tinggi dari target sebelumnya,” Kata Menteri Industri Kajiyama Hiroshi.
Kajiyama lebih lanjut menyatakan Jepang memerlukan pengembangan energi terbarukan “secara maksimum.”
Institut Energi Terbarukan (Renewable Energy Institute / REI), berpendapat sasaran tersebut bisa dicapai. “Syaratnya Jepang juga serius untuk memastikan bahwa bauran energinya, 45% di antaranya, berjenis energi terbarukan, kata Ohbayashi Mika, direktur REI.
"Bahkan saya percaya target lebih tinggi juga bisa diraih jika pemerintah mengggunakan semua opsi yang ada untuk meningkatkan investasi energi terbarukan dan menerapkan cara-cara strategis untuk menghemat energi,” katanya.
“Tak kalah penting, katanya, adalah memperkenalkan mekanisme penentuan harga karbon sehingga kita bisa cepat-cepat keluar dari penggunaan batubara di pembangkit tenagaa listrik serta mendorong kompetisi di kalangan produsen energi untuk menghasilkan portofolio yang ’lebih hijau’ sifatnya,” kata Ohbayashi.
Jika berhasil negara-negara yang sumberdayanya juga tak terlalu beragam bisa pula mengurangi ketergantungan pada energi berbasis fossil.
Seperti yang dinyatakan Koizumi, dalam jangka panjang langkah dimaksud juga akan berkontribusi secara signifikan pada apa yang disebut keamanan energi atau energy security. ***