Lebih Bahagia dengan Selfie
Lain ladang, lain belalang. Lain bangsa, lain pula cara berliburnya.
Mengabadikan momen indah saat liburan.
Beberapa tahun silam seorang sahabat asal Eropa mengajak saya liburan bareng suami dan anak-anaknya di Singapore. Liburan gaya Eropa ini sungguh sangat berbeda dengan orang Asia.
Mereka berlibur di daerah tropis di kala negaranya sedang musim dingin di Januari. Itu sebabnya mereka sangat suka berlama-lama menikmati matahari berenang di penginapan. Setelah berenang, mereka bersantai tidur atau membaca buku di tepi kolam renang. Di jam-jam makan kami baru pindah ke hawker yang ada di dekat apartemen.
Berbeda dengan gaya liburan orang Asia yang seharian selalu punya target mendatangi banyak tempat dan berbelanja di situ. Setelah sampai di hotel, turis Indonesia biasa saling pamer barang-barang yang berhasil dibeli dengan harga miring. Keesokan harinya, hal yang sama terjadi lagi sampai akhirnya uang habis dan pulang ke Tanah Air.
Gaya liburan orang Eropa ini sebenarnya menyenangkan. Benar-benar bersantai menikmati waktu. Baru keesokan harinya kami pergi ke Garden by the Bay yang belum pernah didatangi. Hanya pergi ke satu tempat wisata, pulang ke apartemen, lagi-lagi mereka bersantai di tepi kolam renang. Belanja ke mal bukan kegiatan prioritas bagi mereka.
Saat berjalan di stasiun MRT, sahabat dari Eropa ini keheranan melihat kebiasaan orang Asia yang sedikit-sedikit berfoto. Waktu itu ada serombongan turis yang tampaknya berasal dari Asia Timur. Mereka terlihat heboh berfoto di depan dinding yang dilapisi kertas bergambar padang bunga matahari. “Gambar itu indah sih. Tapi apa sih istimewanya foto di situ?” tanya dia ingin tahu.
Saya cuma nyengir. Kalau saya pergi berlibur dengan keluarga dan teman-teman saya, kemungkinan rombongan kami juga akan berfoto berkali-kali di situ dan ratusan kali di tempat wisata. Pergi ke Garden by the Bay dengan keluarga Eropa itu, kami hanya foto dua kali saja. Memang beda sekali.
Diam-diam saya sering jengkel dengan kebiasaan sedikit-sedikit foto atau selfie saat berlibur itu. Namun suatu ketika teman saya yang demen foto itu absen dari liburan, foto yang jadi kenangan hanya sedikit. Sayang juga sih kalau hanya ada sedikit kenangan dari liburan.
Boleh dibilang, tiada hari tanpa selfie di Indonesia. Sejak ada ponsel pintar dilengkapi kamera cantik, setiap saat setiap waktu adalah waktunya berfoto sendiri. Hasil foto diri sendiri itu tak bosan-bosannya setiap hari diunggah di media sosial.
“Kita menyukai foto selfie karena kita termasuk bangsa yang terbuka dan gembira. Selain itu, secara sosial orang Indonesia juga butuh pengakuan dan eksistensi. Sehari-hari anak biasa di bawah otoritas orang tua dan guru. Eksistensi anak kurang dihargai dan kurang mendapat tempat. Ketika dewasa, perasaan kurang dihargai itu masih terbawa,” ujar psikolog dan pengajar di Universitas Guna Dharma Nilam Widyarini.
Setelah memotret diri sendiri, foto itu kemudian diunggah ke media sosial atau dicetak lalu dipajang di rumah. “Apa yang ingin diingat, dilihat dan diakui, itulah yang kita tampilkan di foto untuk dilihat orang banyak,” papar doktor psikologi dari UGM ini.
Jujur saja, selfie itu menggembirakan. Tapi jangan sampai kegiatan menggembirakan ini malah jadi bencana. Seperti ketika libur lebaran lalu ketika tujuh orang tenggelam setelah mencoba berselfie di atas perahu. Perahu yang mengapung di danau itu menjadi tenggelam saat semua penumpangnya pindah ke depan.***