Langit Tak Lagi Biru
Jakarta berada pada urutuan teratas untuk urusan kota metropolitan dengan tingkat polusi tertinggi di kawasan Asia Tenggara menurut IQAir.Tentu bukan sesuatu untuk dibanggakan
Komplikasi selalu terjadi di berbagai kota Metropolitan di dunia dan berbanding lurus dengan tingkat kehidupan warganya. Kemacetan lalu lintas, misalnya, hanya menunjukkan dua hal: pengaturan yang tidak berjalan dan warganya yang semakin makmur.
Populasi kendaraan roda dua di Jakarta merepresentasikan dua hal yang, pada batas tertentu, kontradiktif satu sama lainnya. Ketika pemilikan kendaraan bermotor dilihat sebagai indikasi peningkatan daya beli masyarakat, pada saat yang sama hadir pula ancaman baru untuk kehidupan mereka sendiri.
Data memperlihatkan bahwa terdapat sekitar 20 juta unit kendaraan yang beroperasi setiap harinya di Jakarta, belum termasuk kendaraan commuter dari wilayah penyangga di perbatasan Jakarta.
Kendaraan bermotor yang didominasi oleh sepeda motor pada saat yang sama mengeluarkan zat beracun yang membahayakan kehidupan warga. Penggunaan bahan bakar beroctan rendah (leaded gasoline) adalah kontributor terbesar dalam siklus yang mematikan ini.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengingatkan sadar atau tidak, masyarakat di kota-kota besar sesungguhnya sudah lama menghadapi riil pandemi kesehatan akibat kualitas udara buruk. Tidak sedahsyat ancaman covid 19, kondisi ini dianggap biasa saja baik oleh pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Padahal, kondisi buruk itu sudah mangancam jiwa.
“Tanpa pandemi covid-19 warga Jakarta sudah harus pakai masker setiap keluar rumah. Kenapa? Karena udara di Jakarta sangat tidak sehat, sehingga kalau kita hirup akan menurunkan kualitas kesehatan kita. “Kandungan udara Jakarta sudah tidak sehat untuk kesehatan kita,” tulis YLKI.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) yang dilakukan pada 2019 menyebutkan, setiap hari sepeda motor menghasilkan 8.500 ton polutan atau sekitar 44,53 % dari total polutan semua kendaraan. Dalam catatan KPBB kendaraan yang menghasilkan jumlah polutan tertinggi per hari adalah sepeda motor yakni motor 8.500 ton (44,53 %), disusul bus (21.43 %) 4.106 ton, mobil pribadi 2.712 ton (16,11%).
Berbagai studi memperlihatkan bahwa dari berbagai jenis polutan yang terkandung dalam polusi udara tersebut PM 2.5. adalah jenis polutan yang paling berbahaya karena ukurannya yang sangat kecil. PM 2.5, partikel yang berukuran kira-kira 1/30 dari ukuran rambut manusia tersebut dapat masuk ke organ tubuh yang lebih dalam dan dapat mengakibatkan penyakit paru-paru kronis, infeksi pernafasan akut, pecahnya pembuluh darah, hingga stroke.
PM 2.5 ini berasal dari hasil pembakaran, termasuk pembangkit listrik, kendaraan bermotor, dan juga kegiatan industri. Laporan yang dirilis oleh Spain Heart Institution menyebutkan setidaknya 1 dari 4 orang di kota besar meninggal akibat PM 2.5.
Pada perkembangan terbaru, berdasarkan data dari situs Air Quality Index (AQI), kualitas udara Jakarta berada pada posisi nomor 3 paling buruk di dunia, di bawah Mumbai dan Dhaka. Di bawah Jakarta, ada New Delhi dan Chiang Mai, yang ada di posisi 4 dan 5.
Rendahnya kualitas udara yang disebabkan oleh emisi gas buang kendaraan hanya menunjukkan bahwa program Blue Sky atau Langit Biru yang sudah dimulai setengah abad lalu itu belum juga membuahkan hasil yang nyata.
Diatas kertas, program ini menyentuh aspek-aspek strategis seperti meningkatkan kualitas emisi gas buang kendaraan bermotor, inspeksi kendaraan bermotor, penetapan standar emisi gas buang untuk kendaraan yang sudah berjalan, serta pendekatan manajemen lalu-lintas.
Intervensi dari sisi teknologi, menurut program yang diperkenalkan pada tahun 1996 itu, menyebutkan teknologi otomotif akan diubah atau ditingkatkan lebih ramah lingkungan melalui penyempurnaan desain maupun perlengkapan treatment emisi gas buang.
Disamping itu, langkah teknologi ini akan diimbangi dengan pemanfaatan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan dan penataan manajemen lalu lintas yang baik untuk menghindari kemacetan yang berandil signifikan terhadap meningkatnya emisi gas buang kendaraan bermotor.
Dari kejauhan nampak semua itu lebih dari cukup untuk memberikan sebuah standar hidup yang layak bagi warga, utamanya, di kota-kota besar dengan tingkat mobilitas yang tinggi.
Nyatanya justru baru-baru ini secara terbuka gubernur DKI Jakarta mengungkapkan bahwa polusi udara di Jakarta sudah menyebabkan 5, 5 juta kasus penyakit yang disebabkan oleh polusi udara setiap tahunnya. Ini berarti terdapat setidaknya 11 kasus per menit.”
Konsistensi, menurut catatan YLKI, adalah inti dari persoalan seputar program Langit Biru sejauh ini. Masalah penghapusan BBM Premium menjadi contoh bagaimana ketidakkonsistenan pemerintah membuat BBM yang tidak direkomendasikan ini masih tetap ada—walau produk ini rencananya sudah harus dihilangkan (phased out) dari pasar pada tahun 2017.
Dalam skala yang lebih luas ketergantungan pembangkit listrik pada batubara membuat persoalan bertambah rumit ketika Indonesia berkewajiban menurunkan 20-40 persen emisi gas buang hingga tahun 2050, berdasarkan komitmennya pada Paris Agreement di tahun 2015 lalu.
Langkah yang sporadis tidak akan berarti apa-apa, sesuatu yang sudah ditunjukkan oleh Program Langit Biru yang sudah berusia setengah abad itu.***