Konsumsi Alkohol Menurun, Ada Apa?
Kebiasaan mengkonsumsi minuman keras (miras), bagi masyarakat Jepang, sudah mendarah daging. Namun, dalam masa pandemi Covid-19, konsumsi miras di sejumlah izakaya, bar khas Jepang, menurun.
Selama berabad-abad kuil kuno di Jepang bertindak sebagai pabrik sake, minuman keras khas Jepang. Utusan Tiongkok pada abad ketiga menggambarkan masyarakat Jepang sebagai “sangat menyukai minuman keras.”
Budaya minum di Jepang itu kompleks, campuran kegembiraan dan kecemasan, yang mungkin sulit dipahami. Bagi sebagian orang, minum hanyalah cara yang menyenangkan dan bebas stres untuk bersantai dan terhubung dengan teman sebaya; bagi yang lain, itu adalah kecanduan yang melumpuhkan.
Di Jepang, minuman keras mudah ditemukan di berbagai tempat, di setiap konbini dan minimarket yang ada di mana-mana ini tidak pernah tutup. Sebelum pandemi, minuman keras dapat dijual untuk dikonsumsi langsung di hampir semua acara atau tempat.
Bahkan mesin penjual otomatis menyediakan minuman keras, dan kebanyakan dari mereka tidak dapat memverifikasi apakah pembelinya adalah usia legal untuk minum yakni 20 tahun. Pemeriksaan identitas juga tidak diterapkan secara ketat di konbini, di mana ini hanya kasus menekan tombol di kasir hingga pembeli mengatakan berusia lebih dari 20 tahun.
Minum memainkan peran penting dalam masyarakat Jepang. Nomikai (pesta minum), yang diadakan setiap malam di izakaya, meningkatkan ikatan sosial dan bisnis, dan dihadiri secara teratur oleh sebagian besar penduduk.
Minum sebagai cara untuk memulai dan memperkuat hubungan telah menjadi begitu umum sehingga ada istilah nominication (飲 み ニ ケ ー シ ョ ン). Istilah yang berasal dari kata Jepang 飲 み (nomi) yang berarti "minum" dan kata bahasa Inggris "communication."
Alkohol memungkinkan orang Jepang untuk mengekspresikan emosi serta opini mereka secara lebih terbuka di negara yang agak diatur secara sosial ini. Untuk masyarakat yang terkenal pendiam seperti Jepang, alkohol adalah pemecah es yang sempurna. Mabuk adalah cara yang paling dapat diterima untuk bersikap blak-blakan, bahkan konyol.
Minum dengan rekan kerja seringkali merupakan persyaratan pekerjaan. Orang benar-benar dapat melakukan apa saja dan dimaafkan selama ada alkohol.
Dalam kasus ekstrim, pergi minum dengan rekan kerja adalah pilihan antara pekerjaan dan kesehatan. Menolak untuk pergi ke pesta minuman keras dapat dianggap sebagai penghinaan bagi kolega seseorang, atau bahkan perusahaan itu sendiri.
Budaya minum mengalami pergeseran sejak terjadinya pandemi Covid-19 yang hingga kini belum berakhir. Mereka yang biasanya menenggak minuman keras di izakaya atau restoran harus menahan diri untuk tidak keluar rumah, apalagi saat pemerintah mengeluarkan status keadaan darurat Covid-19.
Pada 23 Apr, pemerintah mengumumkan keadaan darurat lagi, kali ini mencakup empat prefektur Tokyo, Osaka, Kyoto, dan Hyogo, di mana kasus Covid-19 terus menyebar. Kini, keadaan darurat juga diterapkan di Hokkaido, Okayama dan Hiroshima yang berlaku 16-31 Mei. Juga di Gunma, Ishikawa dan Kumamoto dari 16 Mei hingga 13 Jun.
Sebagai bagian dari tindakan, restoran yang menyajikan alkohol diminta untuk tutup hingga 31 Mei, diperpanjang dari 11 Mei. Kebijakan ini tentu membawa dampak serius bagi bisnis minuman keras di restoran dan izakaya.
Menurut Survei Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga dari Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi, yang mengamati rumah tangga dengan dua orang atau lebih, pengeluaran untuk alkohol berada pada tren penurunan yang jelas karena penyebaran Covid-19. Khususnya pada April 2020, ketika keadaan darurat pertama diumumkan, terjadi penurunan sebesar 17,1% dari waktu yang sama tahun sebelumnya.
Pada saat yang sama, pengeluaran rumah tangga untuk alkohol meningkat dari tahun ke tahun karena lebih banyak orang yang minum di rumah menyusul permintaan pemerintah agar penduduk tidak keluar rumah.
Sebaliknya, jumlah yang dihabiskan untuk minuman beralkohol di restoran sepanjang tahun turun 52,7% karena toko-toko membatasi jam kerja dan membatasi waktu penyajian alkohol, sesuai dengan langkah-langkah prioritas yang menyertai pernyataan darurat yang berbeda. Bulan-bulan tertentu mengalami penurunan sebesar 80–90% dari waktu yang sama tahun sebelumnya.
Restoran di Tokyo dan Osaka menyumbang sebagian besar minuman beralkohol yang dikonsumsi di restoran, dan keadaan darurat ketiga diperkirakan akan berdampak lebih jauh pada angka konsumsi. Pelanggan dan pemilik restoran sama-sama berharap bahwa upaya pemerintah untuk mengendalikan penyebaran infeksi akan terbukti berhasil dalam jangka pendek dan bahwa orang akan segera dapat keluar untuk menikmati minuman lagi.
Akankah setelah pandemi orang kembali mengunjungi izakaya untuk menenggak minuman keras (miras)? Kita tunggu saja!***