Ketika Panekuk pun Kurang Berhasil Memperbaiki Komunikasi Publik
Suga Yoshihide dikenal dengan tampilannya yang serba serius. Namun hal itu ternyata, terutama di masa serba sulit, bisa membuat posisinya sebagai pemimpin serba runyam.
Di saat-saat awal pemerintahannya, Perdana Menteri (PM) Jepang Suga Yoshide ingin melunakkan citranya sebagai sosok serrba lurus dan kelewat serius dengan menonjolkan sisi-sisi manusiawinya yang selama ini terlewat dari amatan publik.
Untuk itu, ia antara lain “memamerkan” kesukaannya akan panekuk (pancake)—plus siraman sirup buatan sang istri—yang bukan makanan tradisional Jepang dan rutinitasnya melakukan sit-up agar terus ramping dan sehat.
Dikenal sebagai sosok yang mampu mengatasi persoalan dengan deal-deal di belakang layar nan keras dan tegas, ia bahkan berupaya mengawali jumpa pers pertamanya dengan tersenyum, meski hal itu bukan kebiasaannya dan tak jelas mengapa ia melakukannya.
Tentu saja hal itu disambut baik oleh media yang juga rajin menggambarkan sosok pengganti Abe Shinzo itu sebagai pemimpin yang sukses meski latar belakang keluarganya biasa-biasa saja dan bukan merupakan bagian dari suatu dinasti elit politik.
Namun semua itu pendek saja usianya. Dalam bilangan bilangan bulan, approval rating-nya terjerembab ke tingkat 30% saja karena komunikasi publiknya yang buruk.
Hal ini agak ironis mengingat sebelumnya sang PM tak kurang dari delapan tahun menjadi jurubicara utama pemerintah. Namun, sebagai PM, pesan-pesan yang disampaikannya—terutama dalam urusan Covid-19—tak jelas arahnya dan kurang menunjukkan keberpihakan pada mereka yang menjadi korban.
Di hari-hari awalnya ia juga tersandung masalah pemblokiran enam ilmuwan yang secara otomatis seharusnya menjadi anggota Japan Science Council. Lembaga ini adalah lembaga otonom dan tidak semestinya diwarnai campur tangan pemerintah dalam pemilihan anggotanya.
Suga tak menjelaskan dengan baik alasan pemblokrannya kepada parlemen sehingga di luar berkembang spekulasi bahwa para imuwan itu diblokir karena sangat kritis terhadap pemerintah dalam hal kebijakan keamanan nasional.
Koran berpengaruh Asahi Shimbun bahkan mengatakan Suga, sama halnya dengan Abe, cenderung membungkam orang atau organisasi dan lembaga yang tak disukainya. Bahkan mereka kadang mengaburkan fakta dan mengabaikan suara-suara yang “berbeda.”
Salah satu kebijakan yang meruntuhkan kepercayaan publik pada Suga adalah kebijakan subsidi perjalanan guna mendongkrak industri wisata dalam negeri.
Meski sebelumnya dikenal sebagai politikus yang mampu menghasilkan keputusan-keputusan efisien, ia kali ini mengabaikan pendapat para ahli yang mengingatkan bahwa gencarnya perjalanan domestik membahayakan upaya pengendalian pandemi.
Mainichi Shimbun, yang sebenarnya jarang mengkritik pemerintah, juga menyatakan peningkatan jumlah kasus Covid-19 di Negeri Sakura setelah program dimaksud dijalankan disebabkan keengganan Suga untuk memperhatiikan advis dari para pakar epidemiologi.
Sebagai jurubicara pemerintah selama ini Suga mungkin saja memang efisien sekaligus efektif karena bisa merespon pertanyaan wartawan dengan jawaban standar atau menyikapi pertanyaan menohok dengan menujukkan ketidaksukaan secara terbuka.
Namun, sebagai kepala pemerintahan, kiat-kiat seperti “yang penting pede aja” tentu saja tak menyelesaikan persoalan.
Di mana pun, pemimpin biasanya akan lebih berhasil ketika dikesankan mampu langsung “menyentuh” hati masyarakat umum, bukan cuma “asal tegas” termasuk dengan menyatakan “saya tak ingin menjawab pertanyaan seperti itu.”
Namun, ketika guyon pun, ia sering kali “garing” dengan menyebut dirinya sendiri Gasu dan bukannya Suga.
Belum lagi ketika ia pernah kedapatan makan malam di restoran mewah bersama sejumlah seleb dan politisi papan atas sementara seruan pembatasan sosial akibat pandemi masih berlaku.
Salah satu penyebab Jepang menghasilkan pemimpin yang komunikasi publiknya kurang mulus (meski mungkin mereka sejatinya adalah pemimpin yang baik) adalah kuasa partai-partai yang dominan.
Alhasil, mereka yang ingin menonjol, hanya disibukkan dengan upaya menyenangkan hati para tokoh partai, bukan masyarakat umum.
Komunikasi yang dibangun sejak awal adalah dengan para petinggi partai atau mereka yang disebut-sebut sebagai “sosok berpengaruh.”
Upaya menggalang dukungan langsung dari masyarakat bukan merupakan kebiasaan. Dan akhirnya, juga bukan merupakan keahlian.
Suga belakangan menyadari keterbatasannya dalam hal ini dan kabarnya tengah berkonsultasi dengan seorang pakar komunikasi massa.
Namun, para pengamat politik kebanyakan juga mengatakan selain “cara” menyampaikan pesan, tentu saja “konten” dari pesan itu sendiri tak kalah penting.
Tentu hal ini tak mudah, terutama jika pokok bahasannya adalah Covid-19 sehingga Tobias Harris, pakar perpolitikan Jepang dikutip Washington Post sebagai menyatakan, “Suga terperangkap di antara masyarakat yang ingin kebijakan pemerintah soal Covid-19 lebih proaktif dan para pebisnis yang selalu khawatir soal pembatasan sosial.”
Namun, ia tentu saja bukan satu-satunya pemimpin pemerintahan yang menghadapi masalah seperti itu. Banyak pemimpin negara lain juga dihadapkan pada pilihan sulit tersebut.
Namun, hal itu bisa diredam lebih baik jika ada empati kepada semua yang terdampak, kesediaan “berbagi ketidaknyamanan”, dan tentu saja komunikasi publik yang baik.
Di masa sulit, tampil “lurus-lurus saja” bukan pilihan. ***