Kedelai Mahal, Saatnya Mempopulerkan Tempe Koro
Produksi tempe terombang-ambing harga kedelai yang terus melambung. Mengapa tak kembali membuat tempe kara (koro) yang tak kalah lezatnya juga bergizi tinggi?
Pengusaha tempe dan tahu melakukan mogok pada awal 2021. Mereka memprotes harga kedelai yang melonjak tinggi sehingga menyulitkan bisnisnya. Menaikkan harga tempe, sulit dilakukan. Sementara, mempertahankan harga membuatnya gulung tikar.
Jalan kompromi yang ditempuh sejumlah pengusaha adalah mengurangi ukuran tempe serta menurunkan upah pekerja. Langkah ini terpaksa diambil agar mereka bisa terus berproduksi. Apalagi, tempe adalah makanan rakyat jelata. Jika hilang di pasar bisa mengakibatkan problem sosial.
Menghadapi gelombang protes wong cilik, pemerintah, yang konon berasal dari partainya rakyat jelata, segera bertindak. Mereka melakukan sidak ke gudang-gudang kedelai untuk memastikan tak ada permainan tingkat tinggi dari para importir.
Kesimpulannya, harga kedelai naik karena terjadi lonjakan permintaan dari dunia internasional. Amerika Serikat memborong kedelai dari Tiongkok. Akibatnya, negara lain, termasuk Indonesia terkena dampaknya.
Harus diakui, hingga saat ini, Indonesia masih mengandalkan kedelai impor untuk kebutuhan domestik, termasuk membuat tahu dan tempe. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor kedelai Indonesia sepanjang semester-I 2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai US$510,2 juta atau sekitar Rp7,24 triliun (kurs Rp14.200).
Sebanyak 1,14 juta ton di antaranya berasal dari Amerika Serikat (AS). Guru Besar Bidang Pangan, Gizi, dan Kesehatan IPB University sekaligus Ketua Forum Tempe Indonesia Made Astawan mengatakan, produktivitas kedelai di Indonesia berkisar setengah dari produktivitas kedelai di AS.
"Selain itu, keuntungan per hektar di tingkat petani masih lebih kecil dibandingkan dengan jagung ataupun padi. Akibatnya, petani memprioritaskan lahannya untuk menanam jagung dan padi,” ujar Made kepada Kontan.
Made menambahkan, produktivitas kedelai di Indonesia berkisar 1,5-2 ton per hektar, sedangkan produktivitas di AS mencapai 4 ton per hektar. Produktivitas di AS lebih tinggi lantaran tanaman kedelai mendapatkan penyinaran matahari sekitar 16 jam, sedangkan Indonesia berkisar 12 jam.
Made memperkirakan, rata-rata impor kedelai Indonesia mencapai 2 juta-2,5 juta ton per tahun. Dari total volume impor itu, sekitar 70% di antaranya dialokasikan untuk produksi tempe, 25% untuk produksi tahu, dan sisanya untuk produk lain. Sementara itu, rata-rata kebutuhan kedelai di Indonesia mencapai 2,8 juta ton per tahun.
Saat ini produksi kedelai menyusut drastis tinggal di bawah 800.000 ton per tahun dengan kebutuhan nasional sebesar 2,5 juta ton. Impor pun tak bisa dihindari. Tak usah memikirkan swasembada kedelai seperti yang dijanjikan presiden Joko Widodo pada periode pertama yang tak pernah terbukti dengan berbagai kendalanya.
"Kalau ke depan Jokowi-JK yang jadi, kita harus berani setop impor pangan, setop impor beras, setop impor daging, bawang, kedelai, sayur buah, ikan, karena semua itu kita punya," ucap Joko Widodo (Jokowi) saat berkmpanye di Cianjur pada Juli 2014.
Lupakan janji politik itu. Kita kembali ke realitas saja. Melihat produksi kedelai kita yang rendah kemungkinan menghentikan impor kedelai sangat sulit jika konsumsi tahu dan tempe tak terkendali.
Tetapi, menghapus tempe dan tahu dari daftar menu tidaklah mungkin. Jalan keluarnya adalah tetap membuat tempe namun menggunakan bahan baku yang berbeda. Di era 1970-an, orang tua kita atau mungkin Anda, masih menemui tempe kara (Canavalia ensiformis). Popularitas tempe kara, ada yang menyebut koro pedang atau parang, perlahan hilang ketika semua pengrajin beralih membuat tempe kedelai.
Kara adalah asli tanaman tropis dan bisa tumbuh di tanah marjinal sehingga mudah dibudidayakan. India sudah mengembangkan tanaman kara ini dan hasilnya bagus. Sementara untuk kedelai merupakan tanaman subtropis, sehingga di Indonesia produksinya kurang maksimal.
Kacang koro pedang mempunyai kandungan karbohidrat (66,1%), protein yang tinggi (27,4%) serta lemak yang lebih rendah (2,9%). Selain itu, kacang koro pedang mengandung berbagai zat gizi yang bersifat hipokolesterolemik seperti: niasin, serat, isoflavon, fenol, dan saponin.
Sayangnya, kacang kara juga mengandung sianida yang bersifat toksik. Kandungan asam sianida ini bisa dikurangi hingga 98,86% dengan merendamnya dalam larutan CaCl2 10% selama tiga hari sehingga berada dalam batas aman. Kara pun siap dibuat tempe.
Agar tempe kara bisa diterima masyarakar, terutama soal rasa, sebaiknya dibuat dalam berbagai varian. Misalnya, tempe dengan perbandingan bahan kedelai 75% dan koro 25%, atau masing-masing 50%. Bisa juga dibalik, kara 75% dan kedelai 25%. Seiring waktu bisa dilihat, campuran mana yang paling disukai masyarakat.
Wacana membuat tempe kara ini sudah digaungkan para peneliti puluhan tahun silam, tetapi tetap juga gagal. Perlu political will dari pemerintah melalui sejumlah kebijakan untuk mendorong penggunaan kacang koro sebagai subtitusi kedelai. Kalau tak bisa menggantikan, setidaknya mengurangi impor kedelai agar wong cilik bisa memproduksi tempe tanpa rasa was-was. Kemandirian pangan jangan hanya menjadi janji politik belaka. ***