Indonesia Timur Menjaring Matahari
Dunia perminyakan nasional mengenal Indonesia Bagian Timur ( IBT) sebagai Dunia Laut Dalam ( Deep-sea exploration). Generasi energi baru memberinya nama Taman Surya alias Solar Park.
Agaknya bukan hanya orang perorang saja yang membuat resolusi setiap memasuki tahun yang baru. Tak mau kalah, Pemerintah juga datang dengan rencana-rencana baru—setidaknya untuk menutupi kegagalan-kegagalan di tahun-tahun sebelumnya.
Lepas dari itu, warga Negara yang bermukim di wilayah Indonesia Bagian Timur, yang meliputi kepulauan di Nusa Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi hingga Papua, di awal tahun 2021 memiliki harapan baru. Ini berkat tekad pemerintah pusat untuk menjadikan IBT Taman Surya Nasional atau National Solar Park.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada minggu ketiga bulan Januari lalu mengumumkan akan secara masif memasang panel surya di wilayah itu.
"Kami merencanakan bangun solar park seperti yang ada di Abu Dhabi (Uni Emirat Arab), Portugal, dan Arab Saudi. Satu hamparan besar isinya solar panel saja," kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana.
Indonesia Timur, menurutya, adalah tipikal wilayah yang kering dengan curah hujan yang rendah dan memiliki radiasi sinar matahari yang bagus. Kementerian ESDM mencanangkan target peningkatan kapasitas PLTS mencapai 17.687 MW pada 2035.
Dalam kamus pembangunan nasional, wilayah Indonesia Timur, sebaliknya, tipikal dengan keterbelakangan. Bahkan hingga tahun 80’an listrik masih merupakan sesuatu yang keBarat-baratan di mata orang-orang Indonesia Timur.
Betul bahwa perlahan-lahan listrik akhirnya masuk juga ke wilayah –wilayah yang sekarang justru berjuluk wilayah matahari terbit ( untuk menyebut bagian Barat sebagai daerah matahari terbenam). Tetapi itu setelah sebuah operasi bunuh diri yang dilakukan Pertamina atas nama Public Service Obligaton (PSO).
Tak terhitung berapa besar kerugian yang harus dipikul perusahaan plat merah itu untuk dapat menerangi sebahagian kecil saja wilayah –wilayah di belahan timur itu atas nama pemerataan. Kesadaran untuk memutus lingkaran ini nampak mulai hadir bersamaan dengan rencana pengembangan ladang panel surya disana.
Memang, pemanfaatan sinar matahari untuk memproduksi listrik bukan barang baru di Indonesia. Tercatat, listrik tenaga surya ini pertama kali diperkenalkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (PBBPT) di tahun 1980an.
Kala itu, dikenal dengan PLTS SHS, atau Pembangkit Listrik Surya Solar Home System, ia adalah sebuah pembangkit mini yang terpasang di rumah-rumah di Sukatani, Jawa Barat. Dengan bantuan Presiden model ini lalu diperkenalkan di sekitar 15 Provinsi di Indonesia di tahun 1990-an namun akhirnya mangkrang, tidak berkembang.
Dalam perkembangan terakhir, PLST terbesar saat ini terdapat di di Desa Wineru, Kecamatan Likupang Timur, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Ribuan panel surya tersebut membentang di atas ladang seluas 29 hektare.
Proyek yang hadir melalui power purchase agreement di tahun 2017 ini dapat menyalurkan listrik mencapai 15 Megawatt dengan kapasitas terpasang 21 Mega Watt Peak (MWp). Ini adalah PLTS terbesar saat ini sebelum proyek Cirata benar-benar beroperasi.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sebagai Negara tropis Indonesia dapat menghasilkan sekitar 640,000 Terrawatt-hours (TWh) setahun hanya dari sinar matahari. Jumlah ini setara dengan 2.300 kali total produksi listrik setahun sekarang ini. Artinya ada peluang bagi Indonesia untuk menghasilkan 100% energi bersihnya hanya dari sinar matahari.
Bertahun tahun pemerintah beralasan mahalnya teknologi energi baru ini menjadi hambatan berkembangnya energi bersih termasuk energi matahari ini. Tetapi situasi nampak sudah berubah.
Laporan-laporan memperlihatkan bahwa biaya investasi membangun ladang panel surya turun sebesar 77% dalam rentang waktu 2010-2018. Di Australia biaya per MWh turun dari US85 di tahun 2015 menjadi hanya sebesar US$28-29 di tahun 2020. Harga ini jauh dibawah biaya yang dikeluarkan oleh PLN yakni US$79/MWh.
Tetapi pertanyaannya adalah apakah pemerintan memiliki kemauan dan komitmen yang kuat untuk melaksanakan rencan-rencananya?
Sejauh ini wilayah Indonesia Timur dikenal sebagai frontier area minim infrastruktur yang membuat kebanyakan investor berpikir dua kali melalukan investasi disana. Artinya dibutuhkan kajian yang komprehensif yang memungkinkan kerjasama pemerintah-swasta atau Public Private Partnership dapat terjalin secara baik.
Dalam perspektif globalnya, komitmen menuju energi bersih ini menyangkut komitmen Indonesia untuk mengurangi emisinya sebesar 29-41 % per 2030. Ditambah juga keinginan pemerintah untuk menaikan porsi energi baru dan terbarukan menjadi 23% di tahun 2025 dan 31% di tahun 2030.
Climate Action Tracker (CAT), sebuah badan riset independen yag menelusuri tindakan Negara-negara menyangkut iklim, sebaliknya, menemukan bahwa Indonesia belum menunjukkan langkah-langkah konkrit kearah itu dan menyebut Indonesia sebagai Negara yang highly insufficient.
Dalam rentang persoalan ini menyulap Indonesia Timur menjadi Taman Surya Nasional dapat memberi solusi berlipat.***