Hutan dan keberlanjutan
Hutan, dalam batas tertentu, adalah bumi mini tempat semua makluk hidup bergantung. Merusaknya berarti berarti merusak kelangsungan hidup.
Pembalakan terhadap hutan kramat suku Badui oleh para penambang liar yang menjadi berita beberapa waktu lalu setidaknya menjadi miniatur dari gunung es persoalan menyangkut masalah pengrusakan hutan (deforestasi) di Indonesia.
Hutan yang dipelihara dan disakralkan oleh warga Badui, Ujung Kulon, Jawa Barat, yang dikenal ‘hidup dari kebaikan alam’ dilaporkan telah tanpa ketahuan dirusak dari dalam oleh para penambang emas liar yang beroperasi di wilayah itu.
Dengan ibah mereka memohon perlindungan kepada pemerintah. “ Kami diamanatkan oleh leluhur supaya gunung jangan dihancurkan, lembah jangan dirusak, adat jangan diubah. Tapi sekarang terbukti Gunung Liman yang dirusak, minta tolong ke pemerintah," kata warga disana.
Sejatinya hutan itu telah menjadi sumber mata air bagi warga Badui bertahun dan berabad lamanya. Warga disana dilaporkan menangis. Menangisi kelanjutan hidupnya. Dan mungkin mereka adalah representasi dari jutaan orang di berbagai pelosok yang hidup dan kelangsungan hidupnya diputus oleh aksi pembalakan hutan, liar ataupun resmi. Juga umat manusia secara keseluruhan yang kelangsungan hidupnya dipertarukan karena hutan penyangga kehidupan dirusak.
Adalah sebuah ceritera yang panjang bagaimana pengusaha yang berkolaborasi dengan penguasa di masa lalu melalui apa yang dikenal dengan Hak Pengolahan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hasil Hutan dan konsesi Hutan Tanaman Industri, siang dan malam menebas hutan perawan di berbagai penjuru negri, atas nama pembangunan.
Data dari Food and Agricultural Organization (FAO) agaknya bisa memberi gambaran betapa masifnya skala perambahan hutan di Indonesia menyebutkan luas kawasan hutan Indonesia semula diperkirakan mencapai 144,5 juta hektare. Pada 1990, luas tutupan hutan Indonesia tersisa 109 juta hektare.
Per 1995, pemerintah tercatat telah mengeluarkan 586 HPH dengan luas keseluruhan 63 juta hektar. Artinya, luas hutan Indonesia hanya akan tersisa setengahnya jika konsesi itu digunakan secara maksimal.
Profesor ilmu politik dari Amerika Serikat Jeffrey Winters, pernah mengungkapkan bahwa di era Orde Baru berkuasa, hutan dikelola dengan prinsip-prinsip yang mirip dengan prinsip mafia. Mereka mengandalkan satu tokoh utama yang akan menentukan siapa yang boleh dan siapa yang dilarang melakukan sesuatu.
Maka terkenallah julukan Si Raja Hutan untuk menyebut pengusaha kawakan jaman Orde Baru bernama Bob Hassan yang berambisi untuk menebang sebanyak-banyak hutan untuk ‘seluas-luasnya kemakmuran masyarakat.’
Persoalan deforestasi ( hilangnya tutupan hutan) itu berlanjut hingga saat ini dengan berbagai faktor yang saling berhimpitan. Berbagai kepentingan seperti tambang batubara, perkebunan sawit, HPH, Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) dan terakhir adalah food estate otomatis mengurangi tutupan hutan secara sistematis.
Data terakhir memperlihatkan bahwa Kalimantan, menempati angka deforestasi tertinggi seluas 41.500 hektar (35%), diikuti Nusa Tenggara (21.300 hektar), Sumatera (17.900 hektar), Sulawesi (15.300 hektar), Maluku (10.900 hektar), Papua (8.500 hektar) dan Jawa (34 hektar).
Memang, pada perkembangan terbaru Indonesia dilaporkan mampu menekan laju deforestasinya tetapi banyak pihak mengatakan faktor Covid 19 yang membatasi mobilitas manusia yang menjadi penyumbang pada pencapaian itu. Dan perhatian yang lebih besar dan sungguh-sungguh justru harus diberikan kepada masalah perijinan dan korupsi yang terjadi di sektor kehutanan serta pengawasan yang berkelanjutan.
Tanpa itu, dan juga tanpa transparansi tentang deforestasi di Indonesia, para pemerhati jutru pesimis Indonesia akan bisa mempertahankan tutupan hutan yang memadai untuk menyangga keberlangsungan ekosistem, termasuk memitigasi bahaya perubahan iklim ( karena fungsi hutan sebagai carbon sink).
Dalam skala global, Indonesia berada pada posisi ketiga setelah Brasil dan Republik Kongo untuk tutupan hutan tropis. Laporan-laporan menunjukkan bahwa hutan-hutan dari dua Negara lain itu kini tinggal setengahnya karena pembukaan hutan untuk industri dan perkebunan.
Dalam rentang persoalan yang sama, diperkirakan hanya soal waktu saja Indonesia akan berdiri sejajar dengan dua Negara dengan sejarah hutan terluas di dunia itu. Ancaman terhadap hutan Indonesia, nampaknya sudah berubah wujud dari pengusaha HPH di jaman Orde Baru menjadi pengusaha sawit dan food estate pada sekarang.
Greenpeace baru-baru ini melaporkan luas hutan yang dibebaskan untuk perkebunan sawit di Provinsi Papua dari tahun 2000 hingga 2019 hampir satu juta hektar dan mendesak pemerintah pusat dan derah untuk mencegah deforestasi skala besar ini.
Di sisi yang lainnya pemerintah terus besikeras bahwa tetap harus ada lahan untuk food estate bagi seluas-luasnya kemakmuran rakyat”. Dan untuk memastikan ada cukup lahan untuk program tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan peraturan yang mengizinkan kawasan hutan lindung dibuka untuk tujuan itu dalam “skala besar”. Diperkirakan 1,57 juta hektar hutan akan diubah menjadi Food Estate.
Hanya waktu yang akan menyaksikan siapa yang akan tertawa paling akhir.***