Hukuman Percobaan untuk Pelaku Pelecehan Seksual, Adilkah?
Pengarang manga Act-Age, Matsumoto Tatsuya, yang meraba-raba payudara anak sekolah menengah pertama di Tokyo divonis hukuman percobaan. Melukai rasa keadilan.
Manga Act-Age berhenti terbit di majalah Weekly Shonen Jump setelah penulisnya ditangkap polisi.
Kita pasti masih ingat dengan kasus pelecehan seksual yang melibatkan penulis manga Act-Age, Matsumoto Tatsuya atau lebih dikenal dengan nama pena Tatsuya Matsuki. Hakim yang memimpin sidang ini pada 23 Des. hanya menjatuhkan hukuman percobaan. Adil enggak?
Kasus Matsumoto (29) terjadi pada Juni malam. Saat melintas dengan sepedanya di Tokyo, ia meraba-raba payudara dua pelajar sekolah menengah pertama berusia 14 tahun.
Pada 8 Ags. polisi Tokyo menangkap Matsumoto berdasarkan rekaman kamera pengintai (CCTV). Matsumoto tak membantah ulahnya itu.
Dua hari setelah pengangkapan itu, tepatnya 10 Ags. melalui akun Twitter-nya, Weekly Shonen Jump (WSJ), majalah yang menerbitkan manga itu, membuat pernyataan. “Kami mengakui tingkat keparahan dari apa yang terjadi, telah mengkonfirmasi rincian insiden yang menyebabkan penangkapan, dan mendiskusikan situasinya dengan artis Act-Age Usazaki Shiro. Setelah ini, kami telah memutuskan bahwa tidak mungkin melanjutkan serialisasi Act-Age.”
Mulai 11 Ags., gabungan Volume 36/37 dari Weekly Shonen Jump, akan mengakhiri serialisasi Act-Age. WSJ menyesal, serial yang telah dinikmati dan didukung oleh banyak penggemar berakhir dengan cara seperti ini. “Kami sampai pada keputusan ini dengan pertimbangan sungguh-sungguh atas tanggung jawab sosial Weekly Shonen Jump,” lanjutnya. WSJ juga meminta maaf atas kesedihan dan kesusahan yang telah ditimbulkan.
Keputusan ini sangat menyakitkan bagi Usazaki, artis yang menggambar manga itu. Meskipun Matsumoto menulis Act-Age, ia bukanlah orang yang menggambar. Usazaki Shiro yang menggambar seri tersebut, yang dimulai pada 2018 ketika ia baru berusia 20 tahun.
Sejumlah guru melakukan pelecehan seksual terhadap siswa.
Dalam sidang perdana yang digelar 24 Nov., Matsumoto mengakui perbuatan itu dan mengatakan perbuatan tersebut tak bisa dimaafkan. “Saya merasa khawatir dan tidak nyaman tentang banyak hal, tetapi tidak mengungkapkannya kepada siapa pun, dan jatuh dalam keputusasaan. Saya juga memiliki masalah mental yang kompleks terkait wanita,” ujarnya.
Jaksa menuntut hukuman 1,5 tahun kepada Matsumoto. Namun, pengacara meminta kliennya dijatuhi hukuman percobaan karena saat ini pun Matsumoto sudah menerima sanksi sosial. Termasuk berhentinya penerbitan manga Act-Age.
Dalam sidang terakhir di pengadilan distrik Tokyo yang dipimpin hakim Akamatsu Tota, hakim menjatuhkan hukuman 18 bulan dengan masa percobaan tiga tahun. Artinya, Matsumoto tak akan ditahan jika dalam tiga tahun ia tidak melakukan pelanggaran hukum.
Padahal, Akamatsu menggambarkan kejahatan Matsumoto sebagai “tidak senonoh.” Tetapi, hakim lebih fokus kepada sebab dari tindakan tak senonoh itu yaitu melampiaskan kegelisahan yang dialami pelaku. Jadi, hukuman itu lebih fokus kepada tindakan pelaku melampiaskan kegelisahannya, bukan pada kejahatan seksualnya.
Tentu, keluarga korban menginginkan hukuman yang lebih berat, bukan sekedar retorika yang menggambarkan suatu kejatahan tanpa hukuman yang setimpal.
Hukuman terhadap kasus pelecehan seksual terhadap anak di Jepang memang cenderung ringan. Tentu, kita masih ingat dengan kasus pengarang manga Rurouni Kenshin, Watsuki Nobuhiro, yang hanya cukup membayar denda atas kepemilikan 100 disc pornografi anak.
Kasus pelcehan seksual terhadap anak di Jepang terbilang masih tinggi. Hasil suvei yang dilakukan oleh kementerian pendidikan yang dirilis pada 22 Des., menyebutkan terdapat 273 guru yang menerima tindakan disipliner terkait dengan pelecehan terhadap siswa di bawah usia 18 tahun pada tahun fiskal 2019. Angka ini hanya selisih sembilan dibanding rekor tertinggi yang terjadi pada tahun fiskal 2018.
Menurut studi fiskal 2019, 153 guru diberhentikan karena pelecehan seksual pada tahun fiskal hingga Maret lalu, sementara 50 ditangguhkan dari pekerjaan, 16 dipotong gaji, dan sembilan menerima peringatan. 45 lainnya ditegur atau menerima hukuman yang lebih ringan.
“Sangat serius bahwa tindakan kami belum memperbaiki situasi,” kata seorang pejabat kementerian. Kementrian akan meminta dewan pendidikan di seluruh negeri untuk secara ketat menegakkan langkah-langkah pencegahan seperti melarang interaksi pribadi antara guru dan siswa mereka di media sosial.
Kementerian, yang telah mendesak dewan pendidikan untuk memberhentikan semua staf pengajar yang terbukti melakukan pelanggaran seksual, juga mempertimbangkan untuk menaikkan periode larangan mengajar dari tiga menjadi lima tahun bagi mereka yang kehilangan izin mengajar karena tindakan disipliner. Kementerian juga memutuskan untuk memperpanjang sejarah terlihat catatan tindakan disipliner guru menjadi 40 tahun.
Kementerian pendidikan Jepang tidak bisa berjalan sendirian dalam memerangi kejahatan seksual terhadap anak. Polisi, kejaksaan dan kehakiman harus bersinergi dan memberi perhatian khusus pada pelecehan seksual ini. Jika hukuman terhadap pelaku pelecehan seksual masih sebatas hukuman percobaan, agak sulit berharap kasus ini terus menurun di tahun-tahun berikutnya. ***