Hanya Soal Waktu Sebelum Jepang Meninjau Ulang Penggunaan Ganja
Sejumlah negara maju sudah mulai melegalisir pemanfaatan ganja sebagai herbal medis. Namun, Jepang masih mempertahankan undang-undang yang dinilai sejumlah pihak kelewat ketat soal tanaman tersebut.
Sebelum 1948, ganja alias cannabis alias marijuana, di Jepang biasa digunakan dalam kegiatan spiritual, pengobatan dan keperluan-keperluan praktis lain. Namun, setelah itu dengan hadirnya undang-undang (UU) Pengendalian Panja atau Cannabis Control Act kepemilikan ganja menjadi sesuatu yang terlarang.
Belakangan, legislasi tentang ganja mulai berubah di sejumlah negara di dunia. Namun, Jepang hingga kini tetap memperlakukannya sebagai “benda atau zat berbahaya.”
UU itu sendiri awalnya diperkenalkan oleh Amerika Serikat (AS) sebagai kekuatan pendudukan sejak akhir Perang Dunia (PD) II. Sejak diberlakukan, tak banyak perubahan berarti tentang UU tersebut sampai sekarang.
Yang pasti, sebelum kehadirannya, tanaman tersebut umum tumbuh di Negeri Sakura tanpa adanya laporan tentang bahaya maupun penyalahgunaannya.
Untung ada semacam “intervensi” dari kaisar saat itu sehingga setelah kemunculan UU dimaksud, ganja tak sama sekali sirna dari bumi Jepang dan kegiatan yang terkait dengan tanaman tersebut juga sedikit terselamatkan.
Artinya, tanaman tersebut bisa tetap tumbuh dan dipelihara meski secara serba dalam batasan ketat. Alhasil, ganja masih tetap bisa didapati di Jepang hingga kini.
Persoalan belum selesai karena jumlah petani ganja mulai 1950-an, terus berguguran. Pada akhir PD II ada sekitar 35.000 petani namun akhirnya anjlok drastis hingga sekitar 100 saja.
Penyebabnya antara lain karena biaya untuk mendapat ijin penanaman dan budidaya sangat tinggi sementara permintaan juga sudah menurun tajam.
Lisensi paling mudah didapat untuk budidaya ganja di Jepang adalah untuk jenis low-THC hemp atau ganja yang “kemampuannya” untuk membuat konsumennya “high” tergolong rendah. Namun, banyak juga kini yang meminta agar UU yang ada tentang ganja diubah secara lebih menyeluruh sehingga ganja jenis lain juga mudah dikembangkan.
Mereka berpendapat dengan cara ini pertanian Jepang bisa meningkat pesat. Lagi pula, ganja adalah jenis tanaman yang “sustainable” (mampu lestari) sehingga bakal menguntungkan program-program lingkungan juga.
Yang jelas, hingga kini, orang yang memiliki ganja secara tidak sah pasti diancam hukuman penjara selain mengalami stigma sosial. Mereka kemungkinan besar, jika merupakan pelajar/mahasiswa, akan dikeluarkan dari institusi pendidikan mereka atau, jika merupakan karyawan, ditendang dari kantornya.

Hal ini berlaku untuk semua. Ingat mantan anggota The Beatles, Paul McCartney? Ia dilarang masuk Jepang selama 11 tahun setelah ketahuan membawa ganja ke Negeri Sakura pada 1980.
Toshiba menarik sponsorship-nya dari suatu tim olahraga nasional ketika salah satu pemain diketahui memiliki ganja. Artis Takagi Saya karirnya praktis hancur karena ganja. Ia kini gencar melancarkan kampanye tentang legalisasi ganja yang aman.
Pemanfaatan pribadi atas ganja bisa menyebabkan hukuman 7-10 tahun penjara sementara kepemilikan atau transaksi atas benda terlarang tersebut juga diancam denda ¥2-3 juta.
Ketika Canada melegalisir ganja pada 2018, Jepang gencar mengingatkan warganya bahwa mereka tetap dilarang menggunakan ganja meski berada di luar negeri. Tentu saja penegakan aturan seperti ini sulit diterapkan dan sejauh ini belum ada warga Jepang di luar negeri yang dijatuhi hukuman karena ganja.
Sebenarnya mulai 2016, penjualan CBD mulai diijinkan di Jepang. CBD adalah senyawa kimia pada ganja dan merupakan zat yang belakangan ini diketahui cukup penting perannya dalam dunia medis dan kesehatan.
Namun, karena aturan seputar ganja yang kelewat ketat, pemanfaatannya juga terbatas sehingga praktis sulit berkembang secara bisnis.
Untungnya beberapa beberapa pebisis cukup kreatif dengan menggunakannya secara inovatif termasuk dalam produk perawatan kulit (skin care). Sementara Shimomura Kota, pemilik CBD Coffee di Tokyo percaya jika ijin diperlonggar, industri ganja bisa melampaui industri tembakau dalam lima tahun ke depan.
Yang pasti kelompok-kelompok advokasi ganja kini mulai bermunculan termasuk Green Zone yang bertekad mengedukasi publik dan kaum profesional bidang medis dan kesehatan soal faedah ganja.
Juga ada Japanese Clinical Association of Cannabinoids yang didirikan pada 2015 dan bermitra secara resmi dengan International Association for Cannabinoid Medicines. Tujuannya melakukan riset mendalam tentang kemaslahatan tanaman tersebut di Jepang.
Sayangnya, hingga kini, mengkampanyekan sisi positif cannabis secara daring juga bisa menyebabkan seseorang ditangkap di Jepang. Tahun lalu merebak laporan di media bahwa dua warga Negeri Sakura ditangkap karena dianggap mendorong penggunaan ganja secara ilegal melalui unggahan tentang nikmatnya merokok ganja.
Belakangan mereka mengakui melanggar UU Jepang tentang Aturan Khusus Pengendalian Narkotika dan Psikotropika atau Act Concerning Special Provisions for the Narcotics and Psychotropics Control.
Jadi, sejatinya sikap resmi otoritas Jepang tentang ganja masih ambigu karena sejumlah orang sebenarnya juga sudah mempromosikan penggunaannya. Benar, bahwa ganja yang dipromosikan itu disebut-sebut berjenis sesuai keperluan kesehatan dan medis. Namun, sebenarnya, namanya ya tetap saja “ganja.”
Yang jelas, banyak pengamat mengatakan betapapun masih membingungkannya UU dan aturan soal cannabis di Jepang sekarang, tetap saja jumlah orang yang mengamati dan menikmati faedahnya cenderung terus meningkat.
Sekitar 40% dari mereka yang ditangkap karena kasus ganja umumnya berusia sekitar 20-an tahun. Mereka adalah kelompok usia yang terbuka pada hal-hal baru. Juga terbuka pada fakta bahwa sejumlah negara lain sudah meninjau-ulang UU dan aturan tentang ganja.
Jepang, bagaimanapun, adalah negara modern, inovatif dan maju. Tampaknya hanya soal waktu sebelum peninjauan ulang—yang juga komprehensif serta seksama—soal ganja akan berlangsung.***