Dunia mulai menjauhi batubara
Dibawah Joe Bidden Amerika nampak sudah menunjukkan langkah konkrit memerangi polusi yang diakibatkan penggunaan batubara. Tekanan terhadap bahan bakar ini nampaknya akan terus bertambah
Duta Amerika untuk urusan iklim John Kerry langsung bereaksi keras atas rencana Inggris membuka tambang batubara Cumbria, daerah pertambangan batubara yang terletak di Barat Laut Inggris, dan memperingatkan pemerintah Inggris bahwa batubara 'tidak memiliki masa depan.’
Ditambah tekanan dari aktivis lingkungan disana, proyek tambang yang diperkirakan akan memberikan pekerjaan kepada setidaknya 5000 orang dan memasok bahan bakar untuk industri baja di Inggris ini kini dalam posisi mengambang( on hold).
Kerry mendesak para emitter di dunia, termasuk Inggris, untuk dengan cepat mengurangi penggunaan batubara. Dalam sebuah pembicaraan mengenai krisis iklim dengan para menteri di Inggris ia lugas menggambarkan batubara sebagai bahan bakar terkotor di dunia.
"Pasar telah membuat keputusan bahwa batubara bukanlah masa depan." Dia menambahkan: “Di seluruh dunia orang telah membuat keputusan untuk beralih ke bahan bakar yang lebih bersih daripada batubara. Di Amerika dan di tempat lain… kebanyakan bank akan memberi tahu Anda 'kami tidak akan mendanai pabrik batu bara baru'. "
Kunjungan Kerry ke negeri Ratu Elizabeth itu dilakukan dalam rangka persiapan menuju Conference of Parties 26 (Cop26) dari Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim yang akan dilakukan di Glasgow bulan November mendatang. Kerry mengatakan 20 negara dengan polusi tertinggi telah menghasilkan 81% emisi dan mendesak Cina, Amerika, Rusia, India, Uni Eropa, Korea, Jepang dan lainnya menjadi bagian dari upaya dekarbonisasi.
Dari dalam negeri, Amerika juga sudah mulai serius dengan masalah batubaranya sendiri, setelah pembiaran yang dilakukan oleh Donald Trump, presiden sebelumnya yang digantikan Joe Bidden .
Laporan media disana menyebutkan Kongres AS sedang menyelidiki subsidi miliaran dolar untuk pengolahan batubara secara kimiawi yang dimaksudkan untuk mengurangi polusi cerobong asap. Nyatanya, muncul bukti bahwa pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar itu menghasilkan lebih banyak kabut asap dan bukan menguranginya.
Investigasi yang dilakukan media mengungkapkan bahwa banyak pembangkit listrik yang membakar "batu bara bersih", mengeluarkan lebih banyak polusi daripada sebelumnya.
Sementara itu, di kawasan Asia Tenggara sendiri tekanan terhadap perusahaan batubara perlahan mulai dirasakan ketika Jepang dan Korea Selatan, dua Negara peminjam terbesar di kawasan ini, mengumumkan komitmen mereka untuk mengurangi pembiayaan untuk proyek-proyek berbasis batubara.
Menurut laporan Global Trade Review, Jepang menegaskan bahwa ia akan sangat ketat dengan proyek-proyek batubara baru dan “hanya akan mendukung proyek yang menggunakan teknokogi yang sangat efisien.”
Meski demikian, banyak pengamat mengatakan komitmen ini menimbulkan tanda tanya besar karena kepentingan kedua Negara itu. Baik Jepang maupun Korea Selatan memiliki perusahaan energi dan keuangan yang tersebar di kawasan ini yang terlibat dalam konstruksi dan pengoperasian pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Pada saat yang sama proyek-proyek berbasis batubara menjadi pasar empuk untuk suku cadang buatan mereka.
Lalu apa yang dilakukan Indonesia? Ketika dunia berjalan menjauh dari batubara, Indonesia melangkah sebaliknya. Perdebatan mengenai abu batubara dari pembangkit Suralaya yang terletak di ujung barat pulau Jawa itu menjadi contoh bagaimana kepentingan-kepentingan itu berhimpitan.
Ketika pemerintah mengklaim bawa abu batubara bukan limbah B3-berdasarkan analisis yang imiah- masyarakat sekitar PLTU mulai merasakan gangguan kesehatan. Jalan-jalan tertutup debu, sesuatu yang oleh warga disebut tidak pernah terjadi sebelumnya.
Demikian pula dengan persoalan gasifikasi batubara. Laporan-laporan menyebutkan investasi besar2an sudah dilakukan perusahaan batubara untu masuk kedalam ‘wilayah bersih’ ini.
Penambang batubara milik negara PT Bukit Asam berencana memiliki pabrik gasifikasi batubara yang akan beroperasi pada 2024. Sementara penambang batubara swasta, PT Bumi Resources, berencana menginvestasikan lebih US$ 1 miliar ke fasilitas serupa. Air Products perusahaan dari Amerika Serikat juga berencana menginvestasikan US$2 miliar untuk fasilitas pertambangan di Indonesia.
Pada saat bersamaan Amerika, misalnya, tengah berusaha untuk menghentikan proyek batubara bersih ini dan berencana menyetop subsidi miliaran dollar yang sudah dikeluarkan pemerintahnya.
Langkah Indonesia, menurut para pakar energi, hanya akan membuat ketergantungan yang semakin tinggi terhadap sumber energi kotor ini.
Ghee Peh, analis keuangan energi di Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), lembaga riset yang berbasis di Amerika Serikat, mengatakan Indonesia seharusnya tidak memilih jalan ini karena teknologinya pada dasarnya kotor.
Ya, penurunan harga batubara di pasar internasional sebagai dampak dari Covid 19 seyogyanya menjadi momen pemerintah untuk beralih ke energi terbarukan seperti yang dilakukan Negara tetangga India, Tiongkok, Vietnam atau Thailand.
Sayangnya, ketika batubara menghadapi tekanan internasional, Indonesia berusaha mengamankan pasar domestiknya dan berusaha membuat energi lama ini kelihatan baru.***