Di Jepang, Urusan Nama Keluarga Tetap Saja Pelik
Sistem penamaan umumnya merupakan hal penting bagi suatu negara. Di Jepang, hal ini belakangan berkembang menjadi isu yang bersinggungan dengan isu kesetaraan gender.
Menurut undang-undang perdata Jepang, pasangan yang menikah diharuskan menyandang nama keluarga (surname) yang sama. Hal ini menjadikan Negeri Sakura satu-satunya negara yang ada dalam kategori negara industri maju namun masih menganggap pasangan yang resmi menikah serta menggunakan nama keluarga berbeda sebagai pasangan yang bertindak ilegal.
Belakangan muncul seruan agar aturan soal nama keluarga yang seragam ini dihapus. Namun, suatu kelompok di Liberal Democratic Party (LDP) yang berkuasa menentang hal tersebut, demikian sejumlah media lokal Jepang melaporkan.
Uniknya, penentang juga termasuk Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Kesetaraan Gender Marukawa Tamayo yang pandangan politiknya memang dikenal konservatif. Ia tegas mengatakan, perempuan yang menikah tak selayaknya mempertahankan nama keluarga yang disandang saat lahir.

Undang-undang soal nama keluarga tersebut di Jepang sudah sekitar seabad usianya. Namun, akhir-akhir ini banyak aktivis perempuan, karena urusan dimaksud, mesti berdiri berseberangan dengan sejumlah figur konservatif.
Tak seperti kebanyakan negara Barat di “era lama”, sebetulnya masih ada fleksibilitas soal nama keluarga di Jepang. Prinsipnya adalah setiap keluarga harus menyandang satu nama yang sama. Namun, hal itu bisa nama keluarga pihak suami, bisa juga istri.
Artinya nama keluarga suami tak harus menjadi nama yang wajib disandang dalam suatu keluarga. Di lain pihak, di negara lain, nama keluarga—sebelum seruan kesetaraan gender merebak—pihak lelakilah yang mesti terpampang.
Aturan soal surname ini pertama kali diperkenalkan di Jepang pada 1896, tepatnya di era Meiji yang berlangsung antara 1868 hingga 1912.
Waktu itu, merupakan kebiasaan bagi perempuan menikah untuk keluar rumah, mengikuti suami dan menjadi bagian dari keluarga suami. Itu sebabnya perempuan diminta “mengalah” dalam soal nama ini.
Alhasil, hingga kini tak kurang dari 96% dari perempuan di Jepang menanggalkan surname bawaan lahir ketika menikah. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa hingga abad ini, Jepang tetaplah suatu negara yang patriakis.
Undang-undang yang ada bahkan tak mengijinkan penggunaan nama keluarga ganda seperti di negara-negara dengan tradisi Anglo-Saxon.
Jangan harap ada susunan nama belakang seperti Eunice Kennedy-Shriver, misalnya. Pasalnya, ini berarti si perempuan mempertahankan nama Kennedy meski menikah dengan Sargent Shriver.
Dengan kata lain, betapapun terpandangnya keluarga pihak perempuan di Jepang, kemungkinan besar ia tetap tak menggunakan namanya setelah menikah. Kecuali—ya, kecuali—si perempuan bisa meminta suaminya untuk mencampakkan nama keluarganya atau rela menggunakan nama keluarga istrinya . Tentu saja permintaan seperti ini sangat jarang terkabul.
Kompromi yang biasa dilakukan perempuan di Jepang adalah tetap memakai namanya sendiri sejak lahir untuk urusan pekerjaan. Namun, tetap menggunakan nama keluarga setelah menikah terutama dalam dokumen-dokumen resmi.
Atau, bisa juga menempuh langkah yang agak ekstrim. Tidak mendaftarkan resmi pernikahan. Namun, hal ini bisa merepotkan di kemudian hari, apalagi ketika menyangkut hal-hal seperti warisan dan hak asuh anak.
Belakangan, seruan soal kebebasan individu dan hak-hak perempuan mulai marak di Jepang meski tentu saja masih jauh di belakang negara-negara Barat.
“Kewajiban” mengganti nama belakang bagi para perempuan yang menikah ini termasuk di antara bahan kritikan mereka. Umumnya mereka menyatakan hal itu amat merepotkan karena artinya mesti mengganti semua dokumen penting seperti paspor.
Keinginan untuk mempertahankan nama keluarga sendiri, bahkan setelah menikah, juga didukung UN Committee on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW).
Bagaimanapun, kelompok konservatif tetap menolak hal dimaksud dengan alasan “kebebasan memilih nama keluarga bisa merusak ikatan kekerabatan dan mengancam keberlangsungan masyarakat Jepang.”
Pada 2015, Mahkamah Agung Jepang memihak kaum konservatif dengan menyatakan kewajiban memakai nama keluarga yang seragam, tidak melanggar konstitusi.
Sementara itu sejumlah anggota parlemen juga sudah meminta lembaga-lembaga legislatif daerah untuk menolak opini bahwa perubahan diperlukan.
Meski demikian, sebenarnya Perdana Menteri (PM) Jepang Suga Yoshihide sempat menimbulkan harapan ketika menyatakan bahwa mempertahankan nama keluarga masing-masing dalam suatu keluarga merupakan hal yang dimungkinkan.
Namun, “serangan balik” atas keinginan sang PM tersebut dari kelompok konservatif, membuatnya cepat mundur dari upaya menempuh langkah anyar.
Sementara itu, survei yang dilakukan pada Oktober 2020 mengungkap bahwa 70,6% responden tak keberatan dengan nama keluarga berbeda, sementara 14,4% menyatakan apa yang berlaku selama in sebaiknya dipertahankan.
Apapun, memang penting bagi suatu negara untuk menerapkan suatu “sistem penamaan” yang seragam secara nasional.
Indonesia termasuk negara yang tidak / belum mempunyai sistem penamaan yang berlaku di seluruh negara. Mungkin itu pula sebabnya hingga kini data kependudukan negara kepulauan terbesar di dunia ini terus kisruh dan simpang-siur. ***