Coba-coba Menawarkan ‘Peanuts’ pada Indonesia
Amerika Serikat (AS) di akhir masa kepresidenan Donald Trump membujuk Indonesia untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Namun, tampaknya Trump masih keliru dalam “membaca” Indonesia.
Suasana di pusat kota Tel Aviv, Israel.
Dua negara yang sebelumnya tak rukun, Israel dan Uni Emirat Arab (UAE), resmi menjalin langkah awal untuk membuka relasi diplomatik penuh pada 13 Agustus 2020. AS adalah “broker” yang memungkin terjadinya perjanjian damai dan hubungan anyar tersebut.
Secara formal kesepakatan itu tertuang dalam Abraham Accords, pernyataan untuk eksis bersama secara baik-baik di Timur Tengah yang sebelumnya, tepatnya pada 1994, hanya pernah terjadi antara Israel dan Jordania.
Dengan adanya kesepakatan itu—yang selama ini selalu terganjal isu Palestina—kedua negara bisa mulus berkolaborasi dalam bidang investasi, turisme, penerbangan langsung, telekomunikasi dan lain-lain termasuk saling menempatkan dutabesar.
Lantas bagaimana dengan Indonesia setelah melihat langkah UAE? Akankah juga mulai saling lirik dengan Israel meski selama ini diketahui sebagai salah satu pendukung amat kuat dan setia Palestina?
Yang pasti, hubungan Indonesia dengan UAE selama ini cukup baik termasuk saat pagebluk Covid-19 di mana Abu Dhabi juga mengulurkan bantuan pada Jakarta.
Sementara ini, memang tetap tak ada tanda-tanda bahwa Indonesia bakal “terinspirasi” UAE dan mulai resmi membuka diri terhadap Israel, meski kontak di belakang layar—terutama yang bersifat pedagangan dan people-to-people—selama ini sebenarnya telah terjadi.
Alasannya sederhana saja. Indonesia belum mengubah kebijakan luar negeri “tradisional”-nya untuk bergantung, terutama secara perdagangan, dengan negara seperti Tiongkok, AS, Jepang dan Uni Eropa. Dan bukannya kawasan Timur Tengah.
Hal ini terus terjadi meski negara-negara kawasan tersebut sudah beberapa waktu mencoba masuk lebih jauh ke Indonesia melalui kebijakan “Looking East” mereka. Dalam istilah gampangnya, hubungan Indonesia dengan mereka baik dan rukun, namun tak akrab. Belum sepenuhnya “on the same page.”
Sementara itu, fondasi konstitusional Indonesia dengan amat gamblang menentang kolonialisme dan apartheid sementara kehadiran Israel jelas merupakan kekuatan pendudukan atas wilayah Palestina.
Indonesia selalu mendukung perjuangan Palestina. Kata “mendukung” dalam hal ini mesti diberi aksentuasi karena sudah berlangsung berdasawarsa tanpa sedikit pun jeda. Salah satu bukti terkininya adalah pernyataan keras Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada Mei 2020 ketika Israel mengumumkan rencana aneksasi Tepi Barat bahwa “Indonesia akan selalu bersama Palestina.”
Ia juga menyatakan tak akan ada yang berubah dalam hal itu meski UAE—dan belakangan juga Bahrain, Sudan dan Maroko—sudah mulai menormalisasi relasi dengan Israel.
Di lain pihak, hubungan Indonesia dengan UAE mungkin saja “bergeser” dan Jakarta tak lagi menganggap Abu Dhabi sebagai mitra sejati, seia sekata, dalam masalah Palestina.
Pasalnya—selain karena kebijakan yang terkait konstitusi—tekanan politik dalam negeri tentang Israel tampaknya tak akan segera melunak.
Selain itu, masih banyak negara lain yang tak sepenuhnya setuju dengan langkah UAE. Bagaimanapun, di pentas internasional Indonesia tak ingin kehilangan pengaruh sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia.
Pertanyaannya, sampai kapan posisi seperti ini akan terus bertahan? Apalagi godaan bagi Indonesia untuk lebih membuka diri pada Israel kian hari kian gencar.
Contohnya, Menteri Regional Cooperation Israel Ofir Akuni yang menyebut ada dua negara lagi yang bisa menjalin hubungan resmi. “Negara-negara ini sangat menarik,” katanya.
Namun, ia menolak menyebut namanya meski membuka kemungkinan bahwa di antaranya adalah Oman. “Satu lagi, bukan negara kecil. Ini negara yang amat menarik. Bukan pula Pakistan,” katanya.
Pernyataan Akuni mengundang perhatian karena muncul tak lama setelah ada berita AS rela mengucurkan dana pembangunan US$2 miliar jika Indonesia mengakui Israel secara terbuka.
Adam Boehler, CEO International Development Finance (IDF) Corp.
Tampaknya dana itu akan berupa kesertaan dalam Nusantara Investment Authority sebagai pengelola sovereign wealth fund yang di tahap awal direncanakan bernilai US$16 miliar. Program ini tengah digadang-gadang pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Adalah Adam Boehler, CEO of the US International Development Finance (IDF) Corp. yang konon berada di belakang kemungkinan tersebut.
Boehler adalah karib Jared Kushner, menantu presiden AS Donald Trump, sekaligus penasihat dekatnya. Agenda utama Kushner adalah menjalin kesepakatan antara Israel dan negara-negara dengan mayorits penduduk Muslim sesegera mungkin.
Apakah Indonesia tergiur dengan iming-iming Boehler?
Tampaknya tidak karena rencana Boehler datang di akhir masa kepresiden Trump. Selain sulit menepati janji di periode kepemimpinan yang tinggal menghitung hari, IDF tidak didesain sebagai “insentif politik” namun semata-mata sebagai sarana pembangunan.
Belum lagi fakta bahwa pemerintahan Biden sangat mungkin tak akan melakukan hubungan yang sifatnya sangat transaksional seperti dengan UAE yang tiba-tiba mendapat pesawat tempur canggih. Atau Maroko yang diakui kedaulatannya atas Sahara Barat serta Sudan yang serta merta dihapus dari daftar negara teroris.
Jika pemerintahan Biden, atau siapapun di AS, tetap ingin “bertransaksi” soal Israel dengan Indonesia, tentu US$2 miliar adalah “peanuts.” Sudah pasti akan diabaikan! ***