Bukan karena Indonesia ingin ‘Tampil Beda’ dalam Vaksinasi Covid-19
Vaksin Covid-19 di Indonesia diprioritaskan bagi para frontliner dan mereka yang di rentang usia 18-59 tahun. Jadi, bagaimana dengan kaum renta dan rentan?
Vaksin Covid-19 produksi Pfizer merupakan vaksin pertama yang digunakan secara massal di Inggris dan Amerika Serikat pada Desember 2020.
Tak seperti kebanyakan negara lain yang mengutamakan para pekerja kesehatan garis depan (frontliner) dan warga usia lanjut, Indonesia dalam melakukan vaksinasi massal kabarnya bakal memilih untuk memprioritaskan mereka dalam rentang usia 18 hingga 59 tahun.
Alasan resminya sejauh ini belum dijelaskan oleh otoritas kesehatan maupun mereka yang tergabung dalam Satgas Covid-19.
Namun, sebagian pengamat mengatakan vaksin yang sudah berada di Indonesia, buatan Sinovac Biotech Ltd., Tiongkok, di tahapan uji klinisnya “hanya” melibatkan mereka di rentang umur itu. Dan hasilnya aman. Dengan kata lain, ada kekhawatiran jika digunakan di luar rentang dimaksud, maka menjadi “kurang aman.”
Sementara itu, telah ramai diberitakan bahwa penerima vaksin Covid-19 pertama di dunia—yang diproduksi Pfizer/BioNTech—berasal dari Inggris dan usianya 91 tahun.
Inggris memang telah resmi menyatakan program vaksinasi massalnya diawali dengan mereka yang usianya lanjut, bahkan amat lanjut, dan tentu saja para frontliner atau mereka yang pekerjaannya berhubungan langsung dengan masyarakat.
Amerika Serikat tampaknya juga mengadopsi langkah serupa. Alhasil mereka yang jelas-jelas tak muda lagi menjadi contoh awal untuk meyakinkan publik bahwa vaksin buatan Pfizer dan Moderna yang sudah resmi disetujui untuk program darurat mengatasi Covid-19, aman adanya.
Itu sebabnya sosok seperti wakil presiden Mike Pence (61), presiden terpilih Joseph Biden (78) dan pakar imunologi Anthony Fauci (80) rela tampil live di televisi saat disuntik vaksin.
Presiden terpilih AS, Joseph Biden, memegang kartu vaksinasi miliknya usai menerima suntikan vaksin Covid-19.
Dalam rombongan pemula ada para pekerja kesehatan dan kemudian para penghuni panti jompo serta mereka yang memiliki penyakit bawaan. Nyaris tak disebut-sebut soal memprioritaskan mereka yang berada di kelompok usia produktif.
Tentu saja semua ini tak serta merta berarti kebijakan Indonesia salah. Bagaimanapun negara kepulauan terbesar di dunia ini mempunyai “tantangan” yang berbeda dari umumnya negara maju yang sudah atau bakal menerapkan vaksinasi massal.
Lagi pula, setiap negara mempunyai hak untuk menentukan strateginya sendiri sementara perubahan kebijakan juga selalu dimungkinkan. Apalagi di Indonesia vaksin Sinovac yang ketersediaannya terbatas itu, belum akan segera disuntikkan .
Yang penting barangnya sudah mulai ada. Artinya, pemerintah nantinya tak mesti “rebutan” dengan negara lain mengingat populasi Indonesia yang raksasa.
Amin Soebandrio, direktur Lembaga Biologi Molekular Eijkman di Jakarta, tentang mengapa yang tua terkesan disingkirkan, menyatakan, “Tujuan kami ‘herd immunity’ alias kekebalan kawanan dahulu.”
“Kelompok produktif Indonesia adalah mereka yang berusia 18-59 tahun. Jika mereka bisa menjadi semacam ‘benteng’, maka yang lain, harapannya, bakal terlindungi dari Covid-19 juga,” katanya.
Kemungkinan vaksin yang bisa cepat tersedia belum cukup untuk segera mencakup sejumlah besar orang dalam waktu singkat. “Jadi kalau yang amat senior disasar lebih dahulu, hasil akhirnya bisa jadi kurang efektif nantinya,” katanya.
Target utama vaksinasi, dengan demikian, adalah mereka yang harus “mobile” karena pekerjaan / aktivitas hariannya. Atau mereka yang tinggal di daerah dengan jumlah kasus Covid-19 amat besar. Dengan demikian, diperkirakan laju penyebaran virus bisa terkendali, kata Amin.
Pemerintah merencanakan tersedianya 246 juta dosis vaksin dari beberapa produsen untuk mencapai imunitas kawanan di tahap awal. Dengan demikian, ada 107 juta orang yang bakal menerima vaksin atau 40% dari total populasi.
Sasaran seperti ini saja sudah lebih rendah dari umumnya di negara lain yang 60%-72% dari total populasi.
Yang sudah resmi dipesan saat ini adalah vaksin dari Sinovac Biotech Ltd. dan Novavax Inc. Lainnya baru bakal dipesan dari Pizer Inc., AstraZeneca Plc. serta fasilitas Covax sementara di dalam negeri sendiri juga tengah dikembangkan vaksin Merah Putih.
Mengomentari rencana pemerintah, Raina McIntyre, profesor biosecurity dari University of New South Wales menyatakan, “Sebenarnya, strategi yang didasarkan pada faktor umur tak selalu tepat meskipun diterapkan saat pasokan vaksin terbatas.”
Di Inggris contohnya, sementara kaum tua yang menerima vaksin tak mempunyai keluhan apapun, di usia lebih muda belakangan muncul satu-dua persoalan alergi agak parah
Setelah itu, buru-buru National Health Service negerinya Ratu Elizabeth II menyatakan mereka dengan riwayat alergi “perlu hati-hati” dengan vaksinasi, berapapun usianya.
Di Indonesia, seperti halnya di banyak negara lain, kebanyakan yang meninggal dunia karena Covid-19 berusia lanjut. Mereka yang 60 tahun atau lebih menyumbang 39% pada angka mortalitas akibat penyakit itu. Meski demikian, yang berusia 46-59 tahun juga menyumbang tak kurang dari 36%.
Jadi, soal siapa yang mesti divaksin lebih dahulu memang mesti mempertimbangkan banyak hal, bukan semata-mata soal umur.
Bagaimanapun, faktanya memang di negara lain yang memprioritaskan warga senior, ketersediaan vaksinnya diyakini cukup untuk semua orang. Indonesia, sayangnya, tak memiliki “kemewahan” seperti itu.
Pilihannya, dengan demikian, hanya mana yang “tak jelek-jelek amat” sambil terus berharap jumlah vaksin akhirnya mencapai level ideal. Jika persediaan memang masih ala kadarnya, maka kelompok yang paling berpotensi menjadi penyebar virus—dalam hal ini mereka yang muda dan relatif muda—tampaknya memang “terpaksa” diprioritaskan.
Jadi, ini bukan karena Indonesia ingin “tampil beda” dalam urusan vaksinasi massal ini.***