

Discover more from halojepang’s Newsletter
Budaya Siaga Bencana dari Negeri Sakura
Kedatangan bencana alam tak pernah terduga. Dalam sekejap gempa bumi, angin topan, banjir, tanah longsor, tsunami dan sebagainya dapat menghancurkan segalanya.
Jepang termasuk dalam kawasan ring of fire (cincin api Pasifik), posisinya terletak di antara empat lempeng besar bumi. Dalam catatan sejarah, negeri dengan banyak prefektur itu mengalami 20% gempa bumi terbesar di dunia. Karena itulah negeri ini sejak lama sudah membudayakan siaga bencana.
Masyarakat Jepang secara turun-temurun mengajarkan kepada anak-anak mereka agar tidak mudah panik dalam menghadapi bencana alam. Termasuk dongeng tentang tsunami yang kadang diceritakan dalam keluarga. Hal ini menurut, Dr. Takafuji Yoko, seorang peneliti dari Pusat Kajian Wilayah Asia Rikkyo University, sangat penting.
“Karena kepanikan akan membuat orang tidak dapat berpikir jernih. Kami sejak kecil sudah diajarkan tidak panik dalam menghadapi masalah apapun,” tutur peneliti yang kerap disapa Yoko ini.
Budaya siaga bencana di Jepang disisipkan dalam berbagai mata pelajaran di sekolah karena belum ditetapkan sebagai kurikulum tetap. Dia melanjutkan, “Semisal, dalam mata pelajaran ketrampilan, anak-anak diajarkan membuat masakan cepat saji onigiri di tempat pengungsian.
Dalam mata pelajaran olahraga, anak-anak diajarkan jika menghadapi kebakaran dengan mengambil ember air secara estafet. Dalam pelajaran lain, anak-anak juga diajarkan membuat poster siaga bencana. Juga melakukan semacam simulasi ketika terjadi gempa.”
Di daerah rawan gempa di Jepang juga sudah ditetapkan titik-titik kumpul bagi masyarakat setempat jika kelak terjadi bencana. Biasanya adalah tempat-tempat di dataran tinggi. Di sisi lain, juga digelar seminar-seminar kebencanaan di berbagai universitas, di kalangan masyarakat luas dan para guru-guru.
“Di Jepang ada istilah tsunami tendenko, yaitu janji kepercayaan. Jadi kalau ada tsunami, masing-masing keluarga sudah berjanji langsung menuju bukit dan harus mengutamakan keselamatan masing-masing. Kalau harus saling mencari anggota keluarga lain, bisa tidak selamat,” tutur Yoko.
Di sejumlah prefektur juga terdapat komunitas story telling untuk para korban bencana gempa dan tsunami yang selamat. Dalam komunitas ini, mereka berbagi cerita bagaimana caranya berjuang hidup untuk selamat.
Meski demikian, Yoko mengakui bahwa budaya siaga bencana di Jepang masih harus terus digalakkan agar tingkat kesadaran masyarakat semakin tinggi.
Indonesia hampir serupa Jepang, merupakan wilayah ring of fire karena banyak dikelilingi gunung berapi dan beriklim tropis. Hal ini memungkinkan negeri ini rentan terhadap bencana seperti erupsi gunung api, gempa bumi dan tsunami.
Sejarah telah mencatat, sejumlah bencana dahsyat pernah terjadi di sini. Bahkan salah satunya, yang terdahsyat adalah bencana tsunami Aceh 2004 silam. Gempa bumi berkekuatan 9,2 SR itu mengguncang Samudera Hindia hingga memicu terjadinya gelombang tsunami yang mematikan. Setidaknya, 230.210 jiwa meninggal dunia dan Aceh nyaris menjadi sebuah kota mati.
Kejadian ini mendorong pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di 2007 menetapkan tanggal 26 April sebagai Hari Kesiapsiagaan Bencana Alam dan mengajak semua pihak meluangkan satu hari untuk melakukan latihan kesiapsiagaan bencana secara serentak di seluruh Indonesia.
Selain itu, juga dicanangkan Sekolah Siaga Bencana (SSB). Yakni program berbasis sekolah dalam rangka membangun kesiapsiagaan masyarakat terhadap potensi bencana di Indonesia.
Penetapan ini untuk membudayakan latihan secara terpadu, terencana dan berkesinambungan guna meningkatkan kesadaran, kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat menuju Indonesia Tangguh Bencana. Namun sayangnya, hal ini masih belum berjalan sesuai rencana. Tingkat kesadaran masyarakat Indonesia akan bencana masih kurang.
Saling bertukar cerita rakyat
Yoko yang juga bergiat membudayakan siaga bencana di Indonesia mengakui, bahwa pendidikan siaga bencana harus dilakukan terus-menerus agar mental masyarakat menjadi kuat. Tidak takut dalam menghadapi bencana.
Salah satunya, Yoko menularkan budaya siaga bencana dengan menggunakan cerita rakyat dari daerah Siemeuleu Smong dikolaborasikan dengan kamishibai (cerita bergambar dari Jepang).
Smong merupakan dongeng berupa nyanyian yang menganjurkan penduduk mencari tempat-tempat yang lebih tinggi jika terjadi gempa. Terbukti bahwa banyak korban selamat di Simeuleu padahal dekat dengan pusat tsunami Aceh 2004.
Demikian pula di Jepang, terdapat dongeng Inamura No Hi yang mengisahkan petani tua merasakan pertanda tsunami dengan melihat gelombang laut bergerak berlawanan arah ke lepas pantai. Petani itu langsung membakar jerami yang merupakan kode agar penduduk segera berlari ke tempat yang lebih tinggi karena akan terjadi tsunami. Dengan demikian banyak penduduk yang selamat.
“Dongeng-dongeng rakyat tentang tsunami ini harus terus ditularkan. Sehingga masyarakat semakin sadar akan siaga bencana. Bahkan Indonesia dan Jepang bisa saling bertukar cerita rakyat ini untuk membudayakan pendidikan siaga bencana , ” imbuh Yoko.***