Bijaksana Tentang Makan
Masalah makan kini bukan lagi hanya masalah etika atau masalah ekonomi tetapi juga masalah kemanusiaan dan lingkungan sekaligus.
Aturan untuk tidak membuka mulut atau berbicara ketika anda sedang mengunyah makanan adalah aturan tidak tertulis (etika) yang diwariskansecara turun temurun dalam tata hidup sebuah keluarga. Bahkan, nampaknya, dalam tataran etika, kerumitan menyangkut aturan tidak tertulis mengenai tata cara makan menunjukkan tingkat peradaban (kelas sosial) yang semakin tinggi. Bahkan dalam batasan tertentu, ia menjustifikasi derajat ‘kemanusiaan’ seseorang.
Repot dan rumitnya tata cara makan di kerajaan Inggris, misalnya, hanya menggambarkan sebuah kelas peradaban, untuk membandingkannya dengan ‘kelas peradaban lain’ yang ditunjukkan oleh mereka yang berada di warung-warung kaki lima.
Tetapi lepas dari itu, setidaknya terdapat patokan-patokan umum yang harus dipatuhi agar masalah makan tidak mendegradasi derajat kemanusiaan anda. Itulah pesan moral dari etika makan yang dipahami secara umum hingga kini.
Pada perekembangan lanjutan, masalah makan tidak berhenti pada tata cara, tetapi lebih pada bagaimana orang memperlakukan makanan itu sendiri—semuanya karena kenyataan bahwa orang yang membutuhkan makanan bertambah banyak, sementara sumber makanan sendiri pada dasarnya adalah terbatas.
Mengikuti jalan pikiran ini, sejumlah restoran di Jerman, misalnya, menerapkan denda untuk sisa makanan yang sudah anda pesan dan anda bayar dengan uang anda sendiri. Artinya, anda tidak bisa bertindak semena-mena menyangkut makanan.
Pemilik restoran (dengan hati mulia) mempunyai alasan tersendiri melakukan hal itu. Ia berpendapat, semua sisa makanan hanya akan berakhir di tempat sampah. Padahal, makanan (yang sudah anda pesan dan tidak anda makan karena kenyang) dapat diberikan kepada orang lain yang membutuhkan, ditengah kenyataan bahwa dunia ini masih penuh dengan orang-orang lapar di luar sana.
Dengan denda yang harus dibayarkan, para tamu juga diajarkan untuk mengukur sendiri kemampuan makannya dan tidak memesan secara berlebihan.
Sejumlah rumah makan di Asia yang menyediakan buffet atau prasmanan juga dilaporkan sudah pula menerapkan aturan ini. Dengan membayar harga yang sudah ditentukan, kadang orang berpikir bisa makan dan mengambil semaunya. Memenuhi piring dengan berbagai jenis makanan, tapi tidak dimakan semuanya. Untuk mengantisipasi kelakuan tak berkelas ini para tamu dapat dikenakan denda 5€ untuk apa yang tidak mereka makan.
Lebih dari itu, terdapat persoalan-persoalan besar yang jauh lebih serius dari sekedar sikap acuh tak acuh yang ditunjukkan kelas –kelas ekonomi tertentu menyangkut makanan dan apa yang ingin atau tidak ingin mereka makan.
Perserikatan Bangsa–Bangsa (PBB) memperkirakan 17 persen dari produksi makanan yang diproduksi di seluruh dunia terbuang percuma setiap tahun. Angka tersebut sama dengan 1,03 miliyar ton makanan yang terbuang siang-sia.
Pada saat yang sama data dari Food Bank menyebutkan lebih dari 800 juta orang menderita kekurangan gizi serta sekitar 36 juta meninggal dunia karena kekurangan makanan. .
Para ahli telah menghitung bahwa seperempat porsi makanan yang dibuang dapat memberi makan sekitar 759 juta orang yang kekurangan gizi di seluruh dunia yang mengalami kelaparan. Selain itu, limbah makanan di Eropa saja, dapat memberi makan sekitar 200 juta orang yang mengalami kelaparan karena kekurangan makanan.
PBB mencatatat, 61% limbah makanan itu berasal dari sektor perumahan sementara pusat perbelanjaan makanan menyumbang 26 persen dan pengecer sebesar 13 persen dari total limbah makanan.
Yang lebih mengejutkan lagi adalah kenyataan bahwa Indonesia merupakan salah satu penghasil sampah makanan terbesar di dunia. Data badan pangan PBB, FAO, menyebutkan 44% produksi sampah Indonesia adalah sampah makanan, artinya sepertiga bahan makanan berakhir di tempat sampah.
Selain itu, laporan terbaru Economist Intelligence Unit (EIU) mengungkapkan, setiap orang di Indonesia menghasilkan sekitar 300 kg sampah makanan setiap tahunnya. Jumlah ini menempatkan Indonesia sebagai negara kedua di dunia yang menghasilkan sampah makanan terbesar setelah Arab Saudi.
Paradoksnya, Index Kelaparan (Hunger Index) Indonesia ada di angka 19.9 dan masuk dalam kategori “Almost Severe”. Secara khusus, pandemi Covid-19 telah meningkatkan angka gizi buruk di antara 83-123 juta jiwa. Dan 6,7 juta di antaranya adalah anak-anak yang menderita gizi buruk akut.
Hal ini semakin memperjelas jurang kaya-miskin yang direpresentasikan oleh gini ratio yang tinggi serta tingkat kepeduliaan sosial yang rendah.
Tingginya volume sampah makanan ini, ditambah rendahnya kemampuan teknologi untuk mengolahnya, telah mengakibatkan kebocoran pada tempat pembuangan sampah dengan resiko lingkungan yang tinggi.
Laporan lain menyebutkan bahwa gas metan yang dihasilkan dari sampah makanan 20 kali lebih berbahaya dibandingkan gas karbondioksida. Dan tanpa teknologi yang tepat untuk mengelolah sampah makanan ini, Indonesia memberikan kontribusi yang besar terhadap masalah pemanasan global, disamping karena ketergantungannya pada pembangkit listrik berbahan bakar batubara.
Saatnya untuk bijak tentang makan(an).***