Berharap Pada Angin
Meski pengusahaan tenaga angin untuk listrik sudah berkembang di sekitar 1970an, Indonesia baru memulainya dua tahun lalu dan hanya memiliki dua Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) saat ini.
Kesadaran bahwa sumber energi fosil seperti minyak dan batubara akan habis karena tidak dapat diperbaharui (non renewable) sudah mulai muncul ketika Indonesia memutuskan untuk keluar dari dari organisasi Negara pengekspor minyak (OPEC) di akhir tahun 2008.
Pada saat itu pemerintah sudah mulai merasa keberatan dengan iuran yang harus dibayar sebagai anggota OPEC, sementara Indonesia, sejatinya, sudah beralih status menjadi net importer pada tahun 2003 karena harus mengimpor sebesar 1 juta barrel per hari untuk menutupi deficit dalam negri. Produksi minyak saat itu (dan yang berlanjut hingga kini) hanya mencapai dibawah satu juta barrel, sekitar 800 ribu barel.
Berbarengan dengan isu penurunan produksi minyak (yang oleh otoritas terkait disebut berhubungan dengan lapangan-lapangan minyak yang sudah tua serta sulitnya mendapatkan cadangan baru di wilayah onshore), muncul juga isu diversifikasi energi. Isu kedua ini berkaitan dengan sumber energi lain diluar minyak dan batubara.
Bahkan gas, yang tadinya dibuang(dibakar) karena ia memang otomatis keluar bersamaan dengan minyak, baru disadari nilai komersialnya setelah lebih dari 50 tahun Kontraktor Kerjasama Produksi atau yang disebut Production Sharing Contract Contractor beroperasi di negeri ini.
Tetapi dalam perjalanan yang panjang itu hampir tidak ada proyek energi alternatif ( istilah yang dipakai sekitar 20 tahun yang lalu sebelum berubah menjadi Energi Baru dan Terbarukan—EBT) yang nampak didepan mata kecuali pemanfaatan tenaga air (PLTA) yang umumnya adalah warisan kolonial Belanda.
Dalam perjalanan yang panjang itu pula pemerintah nampaknya lelap tertidur, tanpa menyadari bahwa dunia di luar sana tidak pernah tidur memikirkan skenario kiamat bagi generasi berikutnya ketika sumber energi fosil benar-benar habis. Sejatinya, senagai Negara dengan garis pantai terpanjang, Indonesia memiliki potensi angin yang besar untuk dapat dikonversi menjadi listrik.
Menarik untuk diperhatikan bahwa dua Negara teratas di dunia dalam hal emisi karbon ( emitter), Cina dan Amerika Serikat adalah juga dua Negara dengan populasi Pembangkit LIstrik Tenaga Bayu(PLTB) tebesar di dunia.
Energy Information Administration(EIA), USA, mencatat produksi listrik dari tenaga angin di Amerika Serikat bergerak dari dibawah 1% di tahun 1990an menjadi sekitar 7.3% di tahun 2019. Dalam kurun waktu itu pemerintah Amerika federal Amerika Serikat memberikan insentif untuk pemakaian energi terbarukan seperti angin dan juga menyediakan dana penelitian dan pengembangan untuk menekan harga turbin. Ini belum termasuk insentif pajak dan investasi untuk proyek listrik tenaga angin.
Cina, masih menurut EIA, telah secara sangat insentif melakukan investasi pada sektor listrik tenaga angin ini dan sekarang menjadi yang terbesar di dunia. Pada saat sekarang diperkirakan Cina telah memproduksi 250 GW listrik dari tenaga angin sebagai bagian dari janji pemerintahnya untuk menghasilkan 15 persen listrik nasionalnya dari sumber energi terbarukan pada tahun 2020.
Pemerintah China telah menetapkan peta jalan untuk tenaga angin hingga tahun 2050. Target kapasitas tenaga angin adalah sebesar 400 GW pada tahun 2030 dan 1.000 GW pada tahun 2050, berangkat dari sumbangan nyata sektor ini pada pertumbuhan ekonomi negerinya.
Dengan kenyataan bahwa kedua negara ini menjadi produsen emisi terbesar pada saat ini maka para pengamat energi menyimpulkan bahwa dua raksasa itu akan terus unjuk gigi dalam perebutan energi fosil untuk kebutuhan jangka pendek. Pada saat yang sama persiapan sudah pula dilakukan manakala energi fosil akan benar-benar menghilang dari muka bumi ini pada saatu saat.
Indonesia, jauh di ujung seberang sana, pada saat ini baru mampu menghasilkan 75 MW dari ladang angin (wind farm) yang dibangun di Sidrap, Sulawesi Selatan. Tambahan sekitar 75 MW lagi direncanakan akan datang dari ladang Jeneponto, juga di Sulawesi Selatan.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, sejatinya, Indonesia memiliki potensi 978 MW tenaga angin yang tersebar di Gunung Kidul (10 MW), Bantul (50 MW), DIY Yogyakarta dan Belitung Timur (10 MW), Tanah Laut (90 MW), Selayar (5 MW), Buton (15 MW), Kupang (20 MW), Timur Tengah Selatan (20 MW), dan Sumba Timur (3 MW) di Nusa Tenggara Timur serta Ambon (15 MW), Kei Kecil (5 MW), dan Saumlaki (5 MW) di Ambon.
Persoalannya, menurut para pengamat, adalah political will pemerintah untuk mengubah semua potensi itu menjadi sumber energi dengan pemahaman bahwa energi terbarukan akan memberi manfaat lebih pada ekonomi dalam jangka panjang.
Dan lebih dari itu, mengacu pada apa yang sudah dilakukan oleh Amerika Serikat misalnya, adalah peraturan pemerintah yang meletakan dasar bagi transisi energi di Indonesia yang memungkinkan energi angin dapat berkembang—untuk menyebut insentif untuk investasi serta harga jual listrik yang menarik.
Apa jadinya jika harga beli dari PLN untuk listrik EBT tak kunjung ada hingga hari ini?***