Asyik, Pil Pencegah Kehamilan Bakal Dijual Bebas
Jepang akan mengizinkan penjualan pil pencegah kehamilan secara bebas yang dimaksudkan untuk menangani kekerasan seksual yang cenderung meningkat.
Pil pencegah kehamilan yang beredar di Jepang.
Sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat langkah-langkah penanganan kekerasan seksual, pemerintah Jepang akan mengizinkan penjualan pil pencegah kehamilan (morning after pill) tanpa resep dokter. Bagaimana mencegah terjadinya penyalahgunaan obat ini?
Alasan utama pemerintah Jepang untuk membebaskan penjualan obat pencegah kehamilan disebabkan kasus kekerasan seksual meningkat di tengah pandemi Covid-19. “Kami memahami kebutuhan, dan kami akan melakukan studi secara menyeluruh,” kata Menteri Kesehatan Tamura Norihisa. Pil itu bisa digunakan oleh wanita yang mengalami kekerasan seksual untuk mencegah kehamilan yang tak diinginkan.
Menurut Biro Kesetaraan Gender Kantor Kabinet, jumlah korban konsultasi pelecehan dan kekerasan seksual yang dikumpulkan dari pusat dukungan di seluruh Jepang pada April-September 2020 naik 15,5% dari tahun sebelumnya menjadi 23.050.
Lonjakan itu terjadi ketika lebih banyak orang mengetahui mengenai adanya pusat dukungan tersebut. Selain itu, pandemi Covid-19 juga menyebabkan peningkatan kasus kekerasan seksual. Beberapa korban mengeluh bahwa mereka dianiaya oleh orang-orang yang mereka temui melalui media sosial.
"Lebih banyak orang perlu memahami berapa banyak perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual di tengah pandemi, dan pemerintah harus mendukung mereka secara memadai," kata Menteri Kesetaraan Gender, Hashimoto Seiko.
Selama paruh pertama tahun fiskal 2020, konsultasi terbanyak dilakukan pada Agustus dengan 4.456, naik 895 dari bulan yang sama tahun lalu. Sejumlah korban mengaku diserang oleh orang-orang yang mereka temui di aplikasi dan situs kencan.
Di banyak negara, tidak termasuk Indonesia, pil pencegah kehamilan dijual bebas, tanpa perlu memakai resep dokter.
Jika pil pencegah kehamilan dijual bebas, ada potensi penyalahgunaan oleh remaja dan wanita dewasa. Mereka bisa melakukan seks bebas tanpa khawatir terjadi kehamilan yang tak diinginkan. Apalagi, ada kecenderungan wanita di Jepang untuk tidak menikah dengan berbagai alasan logis.
Potensi penyalahgunaan juga bisa dilakukan oleh orang asing yang bermukim di negeri itu. Seperti diketahui, banyak pekerja asing, termasuk pemagang (kenshusei) yang tinggal di Jepang menyusul kekurangan tenaga kerja di negeri itu.
Beberapa pemagang, sebagian dari Vietnam, telah menggugurkan kandungan. Polisi di Higashi-Hiroshima, Prefektur Hiroshima, menangkap seorang wanita Vietnam berusia 26 tahun karena menelantarkan bayi perempuannya yang baru lahir pada 11 Nov.
Menurut polisi, kenshusei itu menguburkan bayi tersebut di asrama perusahaannya. Wanita itu memberi tahu polisi bahwa bayi tersebut lahir mati. Ia mengaku panik dan tidak tahu harus berbuat apa, jadi ia menguburkan bayi itu dengan tali pusarnya masih terpasang.
Mengapa kensushei menggugurkan kandungan? Mereka takut dipecat dan dikembalikan ke negara asalnya. Walaupun, sejatinya, memecat dan mengembalikan pemagang karena hamil adalah melanggar Undang-undang Kesetaraan Gender (The Equal Employment Opportunity Law) di negeri itu.
Namun, harian Asahi Shimbun pernah memuat surat persetujuan dari perusahaan rekrutmen yang mengatakan peserta pelatihan dilarang menjalin hubungan cinta dengan lawan jenis.
Pemagang asal Vietnam bekerja di sebuah perusahaan konveksi.
Dalam berita itu juga disebutkan, pemagang asal Vietnam diminta menggugurkan kandungan atau dipulangkan ke negaranya karena terbukti hamil dua bulan. Kuil Nisshinkutsu di Minato, Tokyo mengaku telah mengubur sejumlah bayi dari pemagang, satu sebabnya karena aborsi.
Zentouitsu Workers Union, organisasi buruh yang berbasis di Tokyo dan membantu pekerja asing, mengaku menerima banyak permintaan untuk konsultasi dari pemagang perempuan. "Karena skema magang itu sendiri tidak memungkinkan untuk kehamilan atau persalinan, peserta pelatihan percaya bahwa mereka tidak dapat hamil," kata Sasaki Shiro, sekretaris jenderal serikat pekerja itu.
Melihat kondisi kerja para kenshusei, kemungkinan besar mereka akan berupaya keras untuk mencegah kehamilan. Bisa dengan tidak melakukan hubungan seksual atau melakukannya tetapi menggunakan metode pencegahan. Jika selama ini mereka hanya menggunakan kondom atau cara tradisional lain seperti Coitus interruptus (dkeluarkan di luar), kini mereka bakal memiliki pilihan lain.
Menghadapi potensi penyalahgunaan itu, pemerintah Jepang sedang menggodok mekanisme pembelian pil pencegah kehamilan. Ada usulan, pil itu harus ditelan di depan apoteker terlatih untuk memastikan pil tidak disalahgunakan oleh orang lain.
Jepang perlu khawatir dengan potensi penyelewengan obat ini. Pasalnya, jika remaja dan wanita menggunakan obat ini untuk tujuan mencegah kehamilan (bukan karena keterpaksaan akibat kekerasan seksual) maka jumlah kelahiran bayi di Jepang akan terus menyusut. Padahal, jumlah penduduk Jepang sudah menurun terus. Mayoritas mereka pun penduduk usia tua. Ini sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup Negeri Matahari Terbit.
Bagaimana jika pil pencegah kehamilan juga dijual bebas di Indonesa? Mungkin bisa mengurangi kehamilan di usia remaja. Tetapi, berpotensi juga meningakatkan perzinaan. ***