Angka Bunuh Diri Kembali Naik, Ada Apa?
Pada 2020 angka bunuh diri di Jepang kembali naik untuk pertama kalinya sejak 2009. Pandemi Covid-19 dianggap sebagai biang keladinya.
Perjuangan Jepang untuk mengurangi angka bunuh diri membuahkan hasil sejak 2009. Namun, data awal yang dirilis oleh kementerian kesehatan pada 2020, angka bunuh diri di Jepang kembali naik.
Menurut data yang dirilis pada Januari lalu, jumlah orang bunuh diri mencapai 20.919, naik 3,7% dibandingkan tahun sebelumnya. Jumlah kasus bunuh diri per 100.000 orang juga meningkat untuk pertama kalinya sejak 2009 menjadi 16,6.
Jika kasus bunuh diri di kalangan pria turun 135 dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 13.943, angka bunuh diri di kalangan wanita meningkat 885 menjadi 6.976. Peningkatan tersebut mungkin disebabkan oleh perubahan drastis dalam kondisi kehidupan dan ketidakpastian prospek pekerjaan yang disebabkan oleh pandemi.
Dilihat berdasarkan bulan, jumlah kasus bunuh diri terus menurun selama paruh pertama 2020, tetapi mulai meningkat pada Juni di kalangan wanita, dan pada Agustus di antara pria. Total keseluruhan untuk Oktober adalah 2.199, meningkat 660 dari angka pada bulan yang sama di 2019. Kasus bunuh diri sejumlah orang terkemuka selama musim panas dan musim gugur mungkin menjadi faktor penyebab.
Berdasarkan prefektur, Yamanashi dan Iwate memiliki tingkat kematian akibat bunuh diri tertinggi di 22,3, sedangkan Kanagawa memiliki tingkat kematian terendah di 13,5. Tokyo memiliki 16,1 dan Osaka 15,7.
Bunuh diri tahunan di Jepang sekitar 20.000–25.000 hingga 1997, tetapi melebihi 30.000 dari 1998 hingga 2011, memuncak dengan 34.427 kasus pada 2003. Tingkat penurunan kasus bunuh diri selama 10 tahun terakhir sejak 2010 terjadi karena ekonomi Jepang membaik dan layanan konseling lokal ditingkatkan dan diperluas.
Kementerian Kesehatan, Perburuhan, dan Kesejahteraan mengatakan, dalam banyak kasus orang merasa terdorong untuk bunuh diri karena masalah sosial yang tidak dapat diatasi, sehingga pemerintah mempromosikan tindakan pencegahan bunuh diri yang komprehensif yang melibatkan kesehatan, perawatan medis, kesejahteraan, pendidikan, perburuhan, dan bidang lainnya.
“Untuk bunuh diri di Jepang, peningkatan tersebut adalah peristiwa besar dan saya pikir itu adalah titik balik yang besar,” kata Ueda Michiko, profesor ilmu politik di Waseda University seperti dikutip Japantime. Ia menuding Covid-19 sebagai penyebab utamanya. Ia pun tak menampik jika angka bunuh diri tahun ini kemungkinan akan tinggi.
Pakar kesehatan mental di seluruh dunia telah memperingatkan bahwa bunuh diri dapat meningkat selama pandemi, didorong oleh berbagai faktor termasuk kesulitan ekonomi, stres, dan pelecehan keluarga.
Di Jepang, kenaikan ini merupakan yang pertama kali terjadi sejak 2009, pascakrisis ekonomi global, namun mengikuti pola yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Seorang pejabat kementerian kesehatan mengatakan, pandemi Covid-19 memaksa orang ke dalam keadaan yang tidak biasa, khususnya untuk perempuan.
Meskipun menentukan penyebab meningkatnya bunuh diri itu rumit, Ueda menduga naiknya angka pengangguran bagi perempuan dan beban tambahan di rumah menjadi salah satu penyebab. Di Jepang, tanggung jawab rumah tangga seringkali dibagi secara tidak merata dalam keluarga.
Pandemi secara tidak proporsional melanda industri yang mempekerjakan banyak wanita, sebagian besar pekerja kontrak, termasuk industri pariwisata dan hotel.
Sebuah survei yang dirilis oleh NHK pada Desember 2020 menemukan 26% pekerja perempuan melaporkan masalah pekerjaan termasuk pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak April, dibandingkan dengan 19% pada pegawai laki-laki. “Virus Corona telah menyoroti kesenjangan gender di Jepang,” tambah Okano Yayo, seorang profesor feminisme di Doshisha University, Kyoto.
Dalam jajak pendapat lainnya, juga dari NHK, 28% wanita melaporkan menghabiskan lebih banyak waktu untuk pekerjaan rumah selama pandemi, dibandingkan dengan 19% pria. Wanita juga melakukan pengawasan di rumah terhadap anak-anak setelah sekolah ditutup. “Beban rumah tangga pada wanita telah lama tidak proporsional dan beban mereka meningkat karena pandemi,” kata Okano.
Selain pada wanita, angka bunuh diri pada anak-anak juga bertambah. Lebih dari 300 anak di sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) meninggal karena bunuh diri dalam delapan bulan hingga November, naik hampir 30% dari bulan yang sama tahun sebelumnya.
“Siswa merasa cemas tentang masa depan mereka,” kata Mura Akiko, seorang konselor di Tokyo Suicide Center. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dulu mereka bisa melepaskan stres dengan bertemu teman-temannya, tapi sekarang mereka bahkan tidak bisa pergi karaoke.
Jumlah kasus bunuh diri di Jepang mencapai puncaknya sekitar 34.000 pada 2003. Upaya mengatasi masalah tersebut, termasuk menangani beban kerja yang berlebih dan konseling daring dapat membantu menurunkan angka itu.
Kaneko Munetaka, seorang konselor di lembaga swadaya masyarakat (LSM) pencegahan bunuh diri Sotto, mengatakan pemerintah perlu menjadikan tanggapan bunuh diri sebagai bagian penting dari kebijakan pencegahan virus yang sesuai untuk era pandemi. “Bagi sebagian orang, risiko bunuh diri jauh lebih besar daripada risiko yang ditimbulkan oleh pandemi,” katanya.
Dalam menangani pandemi yang belum pernah dihadapi sebelumnya ini, pemerintah bukan hanya fokus pada masalah pencegahan dan pengobatan Covid-19, tetapi juga mesti memperhatikan efek psikologis dan potensi gangguan mental yang disebabkan pandemi tersebut. Ini bukan hanya urusan dokter tetapi juga psikolog, tokoh agama, tokoh masyarakat, budayawan, serta pemerintah. ***