Alasan Kesehatan Mendongkrak Popularitas Bir Bebas Alkohol
Populasi yang tua dan tentunya ingin menjaga kesehatan dengan lebih baik membuat pasar bir di Jepang menciut. Untungnya, ada solusi anyar untuk mengatasi hal itu.
Pemprov DKI Jakarta belakangan ini seolah terperangkap dilema soal akan melepas, atau tidak melepas, sahamnya di suatu perusahaan penghasil bir.
Pasalnya, bir dianggap minuman berkandungan alkohol dan dengan demikian merupakan minuman haram bagi kaum Muslim. Di lain pihak, saham yang ada di tangan Pemprov jumlahnya cukup besar (26,25%) dan dividen yang dihasilkan PT Delta Djakarta Tbk. tersebut lumayan untuk menunjang kegiatan pembangunan di ibukota.
Persoalannya mungkin tak terlalu rumit jika pabrik itu menghasilkan bir non-alkohol. Untuk ini, melirik fenomena yang terjadi di Jepang dengan bir bebas alkohol, agaknya bisa membantu.
Konon bir tersebut kini rasanya sudah amat mirip bir regular, sehingga salah seorang konsumennya mengatakan, “Saya ingin sering-sering minum bir non-alkohol agar ginjal saya bisa ‘beristirahat’ dari keharusan bekerja keras mengolah bir yang biasa saya minum.”
Lebih lanjut, sang konsumen yang seorang pegawai negeri sipil dan tinggal di Kobe, Jepang bagian barat, mengatakan, kini dirinya ada di usia 50-an dan sudah saatnya memperhatikan kesehatannya dengan lebih baik.
Yang jelas, ia bukan satu-satunya orang yang akhir-akhir ini mulai menggemari bir bebas alkohol. Selama wabah Covid-19 di Jepang, memang ada kenaikan jumlah peminum bir jenis tersebut.
Asahi Group Holdings bahkan berani memperkirakan kenaikan 20% tahun ini dalam penjualan bir bebas alkohol serta bir dengan kadar alkohol amat rendah setelah sebelumnya, sepanjang 2020, mencatat penjualan yang datar saja.
Salah satu bir dimaksud dari Asahi dikenal dengan label Beery yang jenisnya, menurut rencana, bakal dikembangkan lagi.
Pesaing utama Asahi, Kirin Holdings, sebetulnya unggul dalam kecepatan meluncurkan produk seperti itu. Hasilnya, sepanjang 2020, Kirin berhasil mendongkrak volume penjualan di kategori bir bebas alkohol sebesar 10%. Tahun ini proyeksi kenaikan adalah 23% dan baru-baru ini perusahaan memutuskan untuk lebih giat lagi mempromosikan bir berkadar alkohol 0%.
Kenaikan level konsumsi bir bebas alkohol dipicu fakta banyak orang sekarang mesti bekerja dari rumah. Tentu saja rumah tidak bisa disamakan dengan bar atau cafe di mana sebelum wabah, orang kantoran terbiasa menghabiskan waktu usai jam kerja.
Di rumah, sering-sering meneguk minuman beralkohol tentu bisa “bikin ribet” karena ada sosok lain yang bukan rekan kerja dan keberadaannya mesti diperhitungkan, termasuk anak-anak.
Minat lebih luas akan bir non-alkohol tampaknya juga dipicu iklan layanan masyarakat yang kerap tayang di televisi. Iklan itu menyebutkan soal pentingnya menjaga kesehatan selama pandemi dan keharusan menganut pembatasan sosial.
Sementara itu para produsennya juga gencar mengingatkan bahwa soal rasa, bir dengan kadar alkohol 0% kini sama nikmatnya dengan bir tradisional yang beralkohol. Sebelumnya, bir jenis ini sering dideskripsikan sebagai terlalu banyak mengandung ragi, rasa airnya kelewat dominan atau—secara sederhana—tak seenak bir tradisional.
Lonjakan minat tiba-tiba akan bir bebas alkohol memang bukan peristiwa yang sering terjadi di industri bir yang bernilai sekitar US$30 miliar di Jepang. Apalagi secara demografis, Jepang adalah negara dengan masyarakat tua sementara minuman beralkohol lain termasuk anggur (wine) belakangan juga mulai menjadi favorit.

Bahkan, sejatinya, menurut statistik, dalam dua dasawarsa terakhir konsumsi bir di Jepang rata-rata turun sekitar 50%.
Wabah Covid-19 menjadikan level konsumsi itu kian terpuruk karena banyak bar dan cafe mesti tutup atau memangkas drastis jam operasional.
Penjualan bir Asahi yang sebagian besar berasal dari brand Super Dry-nya di aneka bar, nilainya menukik 16% pada 2020 sementara Kirin, yang mempunyai lebih banyak jenis bir, volume penjualannya drop 5%.
Penderitaan kedua perusahaan mungkin masih berlanjut di lini bir tradisional tahun ini karena wabah belum sepenuhnya bisa dikendalikan.
Artinya “kesempatan” sukses bir berkadar alkohol 0% bakal lebih besar. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan tren di banyak negara lain.
Anheuser-Busch InBev dan Heineken, misalnya, sudah lebih dahulu meluncurkan produk bir bebas alkohol di bawah merek-merek yang kondang selama ini seperti Budweiser dan Stella Artois.
Meski sekarang penjualan bir seperti itu baru mencapai 1% dari penjualan bir global, tren makin hari tampak makin cerah dan diperkirakan bakal tumbuh senilai hingga US$29 miliar pada 2026 atau melonjak 65% dibanding 2019.
Seperti banyak eksekutif di industri ini CEO Suntory Niinami Takeshi mengatakan banyak kemajuan telah dicapai para produsen bir non-alkohol sehingga rasanya sudah sama atau paling tidak amat mendekati rasa bir tradisional.
Hal ini termasuk penerapan teknologi untuk menyingkirkan kandungan alkohol secara ekstra perlahan sehingga tak mengganggu rasa.
“Faktor kesehatan memang mencerahkan prospek bir bebas alkohol…namun tanpa rasa yang serupa bir tradisional, respon konsumen tak bakal sesuai harapan,” kata Niinami.
Bagi perusahaan, ini juga kesempatan mencari pasar baru untuk bir karena pasar lama sudah menciut.
Artinya, Pemprov DKI mungkin tak usah melepas sahamnya. Alternatifnya adalah mendorong perusahaan pembuatnya untuk mulai bermain juga di pasar bir non-alkohol, sambil secara terukur, meninggalkan bir tradisional.***